Ulama Dalam Pemerintahan Orde Baru: Studi Historis Upaya Pemerintah Dalam Pendirian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 1975
ULAMA
DALAM PEMERINTAHAN ORDE BARU:
STUDI
HISTORIS UPAYA PEMERINTAH DALAM PENDIRIAN MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TAHUN
1975
Oleh
Muhamad Sidik, S.Hum.
A.
PENDAHULUAN
“Ulama adalah pewaris para nabi”[1]
dan “Ulama adalah pelita bagi zamannya”.[2]
Beberapa kutipan tersebut menggambarkan bagaimana pentingnya peran dan
keberadaan para ulama. Kapanpun dan bagaimanapun peran ulama selalu menjadi
sosok sentral dalam setiap peristiwa. Di masa sebelum penjajahan, ketika
kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, peranan para ulama sangat penting, baik dalam
persoalan agama maupun politik. Ulama selalu berada di “ring satu” kerajaan dan
bahkan menjadi pucuk pimpinan kerajaan itu sendiri.[3]
Di masa
penjajahan, peran ulama juga tak kalah pentingnya terutama dalam perjuangan
mengusir penjajah. Ulama sanggup memobilisasikan masa untuk berjuang dalam
menumpas penjajah. Di masa Pergerakan Nasional, muncul KH. Ahmad Dahlan dengan
Muhammadiyah-nya dan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nahdlatul Ulama-nya, membuktikan
bahwa ulama telah berperan dan berkontribusi dalam Pergerakan Nasional.
Ketika Indonesia
telah merdeka dan memasuki masa Demokrasi Terpimpin, khususnya setelah
pembubaran Masyumi, para ulama harus mengundurkan diri dari politik formal dan
membatasi peranannya di dalam persoalan-persoalan keagamaan saja. Sejak tahun
1966 dan seterusnya, sifat peranan kaum ulama, termasuk mereka yang dari
Nahdlatul Ulama, dibatasi lebih lanjut hingga hanya persoalan kegamaan saja.
Partai-partai politik tidak lagi diperbolehkan berdasar pada afiliasi dan
bernaung di bawah panji agama. Sebaliknya, semua partai politik harus
berdasarkan ideologi negara, yaitu Pancasila. Para ulama hanya boleh bergerak
ke arah tujuan-tujuan sekular yang kemudian menggeser kedudukannya dari
kepemimpinan partai-partai politik sehingga menyebabkan mundur dari kegiatan
politk formal. Banyak diantara mereka kembali ke pesantren masing-masing untuk
kembali mengajar ilmu agama dan ada pula yang mengubah kegiatannya menjadi
mubalig.[4]
Memasuki masa
Orde Baru, dengan semakin berkurangnya peranan para ulama dalam politik formal,
baik pemerintah maupun pihak ulama menghadapi tantangan untuk mencari bentuk
peranan baru bagi para ulama dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, dirasakan
perlunya membentuk suatu wadah baru yang berlaku di seluruh negeri bagi para
ulama untuk mewakili kepemimpinan kaum Muslimin.[5]
Adanya suatu wadah baru yang dapat menampung, menghimpun dan mempersatukan
pendapat-pendapat dan fikiran-fikiran dari para ulama Indonesia sudah lama
menjadi hasrat dan keinginan umat dan bangsa Indonesia. Dengan wadah ini
diharapkan partisipasi ulama yang mempunyai tempat khusus di hati rakyat
terhadap pembangunan akan lebih dapat ditingkatkan.[6]
Usaha-usaha ke
arah perwujudan ini sudah lama dirintis oleh pemerintah Orde Baru, baik melalui
pertemuan-pertemuan resmi, seperti musyawarah maupun konsultasi-konsultasi.
Salah satunya melalui Musyawarah Alim Ulama se-Indonesia di Jakarta tanggal 30
September hingga 4 Oktober 1970 yang diprakarsai Pusat Dakwah Islam Indonesia
(PDII), mengadakan lokakarya
ulama tahun 1974, menginstruksikan berdirinya Majelis-Majelis Ulama di Daerah
Tingkat I dan II oleh Menteri Dalam Negeri, membentuk panitia persiapan dan panitia
musyawarah nasional pendirian MUI, dan melaksanakan Munas I Majelis Ulama tahun
1975. Dalam pelaksanaan Munas itulah akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI)
didirikan sebagai wadah untuk menampung dan menghimpun pemikiran para ulama
dengan Hamka terpilih secara aklamasi sebagai ketua umumnya.[7]
B.
PEMBAHASAN
1.
Latar Historis Kehidupan Sosiopolitik dan
Keagamaan di Indonesia Menjelang Tahun 1975
Kondisi kehidupan sosiopolitik dan keagamaan menjelang
tahun 1975, khususnya di masa peralihan dari Orde Lama menuju Orde Baru adalah
sangat rumit. Di tengah kekacauan situasi masa itu yang diakibatkan oleh
Gerakan 30 September (G 30 S) hingga berujung pada tumbangnya pemerintahan
Soekarno dan naiknya Soeharto ke tampuk pemerintahan, menyisakan
persoalan-persoalan yang berdampak pada kehidupan sosiopolitik dan keagamaan,
khususnya yang dihadapi umat Islam Indonesia.
Pada permulaan Orde Baru, umat Islam seolah mendapat
angin segar dan menumbuhkan harapan baru bagi kehidupan Islam di Indonesia.
Kondisi demikian dikarenakan seiring dengan lenyapnya PKI sebagai rival politik
Islam di masa sebelumnya, dibebaskannya tokoh-tokoh Islam, khususnya yang
berasal dari Masyumi yang ditawan oleh pemerintahan Soekarno[8],
dan harapan direhabilitasinya Masyumi sebagai media politik umat Islam
menjadikan harapan untuk kedudukan Islam yang kuat semakin dekat dan nyata.[9]
Pada kenyataannya, keinginan untuk direhabilitasinya
Masyumi ternyata berbanding terbalik dengan kehendak pemerintah yang tidak
merealisasikan harapan tersebut. Pemerintah Soeharto berpegang teguh pada
keyakinan bahwa pertikaian ideologi di antara partai politik adalah penyebab
terjadinya kekacauan politik pada 1965. Oleh karena itu, permintaan kaum
muslimin untuk merehabilitasi Masyumi, partai besar Islam yang berhaluan modern
yang dibubarkan Soekarno pada tahun 1960, tidak dilakukan karena kekhawatiran
kembalinya kaum politisi tua dari partai tersebut.[10]
Sebaliknya, izin diberikan untuk membentuk partai Islam baru yang disebut
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), tetapi hanya dengan bekas pimpinan Masyumi
golongan muda. Hal ini menyebabkan timbulnya kekecewaan politik kaum muslimin
atas kebijakan Soeharto terhadap Islam.[11]
Keadaan dan iklim politik pada masa sesudah Soeharto
berhasil memperkukuh kekuasaannya, pemilihan umum dijanjikan akan diadakan pada
tahun 1967, meskipun nyatanya pemilu itu baru dapat dilaksanakan pada tahun
1971.[12]
Dengan berpegang pada cita-cita untuk menata kembali sistem partai-partai
politik, pemerintah Orde Baru lebih condong kepada konfederasi golongan-golongan
karya sebagai mimbar politik dari pada memihak pada partai-partai politik yang
sudah ada. Konfederasi ini disebut Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber
Golkar) yang kemudian disederhanakan menjadi Golkar yang dibentuk tahun 1964. Pemerintah
Orde Baru menegaskan bahwa Golkar bukanlah partai politik meskipun ikut serta
dalam Pemilu. Pemerintah menginsyafi bahwa ini adalah permainan kata-kata
belaka, tetapi maksudnya jelas bahwa Golkar mempunyai maksud untuk membuktikan
bahwa ia lebih suka menyokong program-program nasional daripada
kepentingan-kepentingan golongan dari partai-partai politik.
Dengan sikap demikian itulah pemilu 1971 diadakan. Di
samping Golkar yang didukung pemerintah, ada 9 partai politik lainnya yang ikut
serta, 4 di antaranya adalah partai Islam, yaitu NU, PSII, Perti, dan Parmusi
yang baru saja berdiri. Kecuali Parmusi, parpol-parpol Islam itu telah
mengikuti pemilu pada tahun 1955. Sebagaimana tampak pada namanya, kebanyakan
ulama, terutama yang berhaluan konservatif, berasal dari NU.[13]
Pada Pemilu 1971, NU ternyata adalah partai yang paling keras mengkritik Golkar
dan menempatkan dirinya langsung sebagai oposisi terhadap pemerintah.
Golkar sendiri mulanya bersikap pesimistis untuk memenangkan
Pemilu 1971, tetapi ternyata memperoleh 65% dari 360 suara yang diperebutkan di
parlemen, sedangkan keempat parpol Islam secara bersama-sama hanya mendapat 26%
suara (94 kursi).[14]
Jika dibandingkan dengan hasil pemilu 1955, di mana gabungan parpol Islam telah
memenangkan 45% jumlah kursi yang diperebutkan, maka hasil pemilu 1971 adalah
suatu kegagalan total.[15]
Protes diajukan kaum muslimin, terutama dari pihak NU, bahwa pemilu
dilaksanakan dengan paksaan dan ancaman pemerintah sehingga banyak pemilih
tidak punya pilihan selain memilih Golkar yang didukung pemerintah; protes dan
keluhan itu tidak ditanggapi oleh pemerintah.
Pada waktu kemunduran politik itulah timbul gagasan untuk
membentuk MUI yang diajukan oleh pihak pemerintah. Dengan sendirinya cenderung
menolak gagasan semacam itu karena khawatir bahwa itu akan dipergunakan
pemerintah untuk lebih membatasi (gerakan) kaum muslimin. Jika orang
menghubungkan rasa pesimistis pihak Golkar dalam menghadapi Pemilu 1971 dan
kenyataan bahwa tercetusnya gagasan untuk pertama kali dari unsur-unsur
pemerintah untuk membentuk MUI sudah terjadi pada 1970,[16]
satu tahun sebelum dilangsungkan pemilu, maka orang dapat menerka bahwa gagasan
pembentukan MUI pada mulanya adalah bagian dari strategi pemerintah untuk
memperoleh dukungan kaum muslimin atau untuk mengendalikan mereka.
2.
Upaya Pendirian Majelis Ulama Indonesia MUI
Tahun 1975
Adanya suatu wadah yang dapat menampung, menghimpun dan
mempersatukan pendapat-pendapat dan pikiran-pikiran para ulama Indonesia telah
lama menjadi hasrat dan keinginan umat dan bangsa Indonesia. Karena dengan
wadah ini diharapkan partisipasi ulama yang mempunyai tempat khusus di hati
masyarakat terhadap pembangunan akan lebih ditingkatkan.[17]
Dua pertanyaan penting timbul dari keterangan menurut
urutan peristiwa pembentukan MUI. Pertama,
mengapa pemerintahan Soeharto sedemikian bergairah agar Indonesia membentuk MUI
dan apa latar belakang politik yang telah membangkitkan keinginan yang demikian
kuat? Kedua, kendatipun gagasan
pembentukan MUI telah dicetuskan pemerintah sejak permulaan tahun 1970, mengapa
hal itu baru pada tahun 1975 diterima baik oleh kaum Ulama sehingga mengapa
pemerintah memerlukan waktu sekian lama untuk meyakinkan kaum ulama mengenai
pembentukan MUI dan bagaimanakah suasana sosial-politik yang menyelubungi
keterlambatan itu? Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, orang harus
melihat pada peristiwa-peristiwa politik nasional penting yang agaknya telah
memberikan pengaruh pada masalah pembentukan MUI pada waktu itu.
Paling tidak, sedikitnya telah terjadi tiga peristiwa
poitik penting di dalam negeri sebelum terbentuknya MUI. Pertama, Pemilu 1971 dengan lahirnya Golkar yang bersifat sekular
dan kemunduran peranan partai-partai politik Islam;[18]
pengurangan jumlah parpol-parpol Islam menjadi satu tanpa menyandang sebutan
Islam lagi;[19] dan
diajukannya RUU Perkawinan yang semula bersifat sekular.[20]
Para ulama melihat hal itu sebagai tanda-tanda pendirian dasar pemerintah
terhadap Islam; dengan diliputi suasana demikian itulah maka para ulama merasa
enggan untuk menyetujui usul pemerintah untuk membentuk MUI. Pembentukan MUI
oleh kebanyakan kaum muslimin dipandang sebagai “pengebirian” kaum ulama.[21]
Dalam kaitan politik yang demikian itu menyebabkan
pemerintah memerlukan waktu sekitar lima tahun untuk meyakinkan para ulama
mengenai keinginan baiknya dalam pembentukan MUI. Hubungan antara pemerintah
dan kaum muslimin yang diwakili para ulama selalu menimbulkan kecurigaan di
antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Selama dalam kurun waktu lima tahun tersebut, beberapa
upaya yang dilakukan pemerintah dalam menggagas berdirinya Majelis Ulama,
diantaranya:
a.
Mengadakan Seminar Alim Ulama Tahun 1970
Usaha-usaha
ke arah perwujudan terbentuknya Majelis Ulama sudah lama dirintis oleh
pemerintah Orde Baru, baik melalui pertemuan-pertemuan resmi, seperti
musyawarah maupun melalui konsultasi-konsultasi. Salah satunya melalui
Musyawarah Alim Ulama se-Indonesia di Jakarta tanggal 30 September hingga 4
Oktober 1970 yang diprakarsai Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII).
Pusat
Dakwah Islam Indonesia (PDII) merupakan lembaga yang dibentuk Menteri Agama
melalui Surat Keputusan Nomor 108 tahun 1969, tanggal 4 September 1969 di
Jakarta dengan ketua Letjend (Purn.) H. Sudirman.[22]
Badan ini merupakan badan setengah resmi dimana tokoh-tokoh pemerintah,
organisasi Islam, serta ilmuwan turut serta dalam hal pendirian dan
kepengurusannya. Dibentuk atas dasar keputusan suatu Seminar Dakwah bulan Juni
1969 di Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, organisasi ini bermaksud meningkatkan
kegiatan yang berhubungan dengan dakwah serta mengkoordinasikannya. Di samping
itu, ia bermaksud pula untuk bertindak sebagai konsultan dan perantara antara
organisasi yang sudah ada. Menurut KH. Mohammad Dahlan[23]
yang ketika itu menjabat sebagai menteri agama menyatakan bahwa PDII sebagai
organisasi beserta pengurusnya telah disetujui dan disambut baik oleh presiden.
Diharapkan, kata Kiai Dahlan, agar pengurus dapat menggambarkan manifestasi
persatuan umat Islam di Indonesia yang memang sangat didambakan oleh setiap
muslim di negeri ini.[24]
Dalam
penyelenggaraan Musyawarah Alim Ulama tingkat nasional bulan Oktober 1970
tersebut, dibicarakan berbagai masalah, termasuk pendidikan, kemerosotan moral,
partisipasi dalam pembangunan, serta hal-hal yang berhubungan dengan penyebaran
Islam. Suatu rencana untuk mendirikan lembaga fatwa dipertimbangkan; malah
masalah ini menimbulkan pembicaraan dan perdebatan hangat dalam konferensi.
Dimaksud agar lembaga tersebut akan terdiri dari ulama terpilih yang berwenang
mengeluarkan fatwa. Pemerintah akan bergantung kepada lembaga ini apabila
memerlukan suatu fatwa yang juga akan mengikat masyarakat. Dengan dukungan
pemerintah tentu pelaksanaan fatwa itu akan berjalan lancar. Tetapi ada pula
bahayanya bila lembaga itu didirikan; kemungkinan bahwa ia menjadi sekedar alat
belaka bagi pemerintah. Demikian pikiran-pikiran yang timbul dalam konferensi.[25]
Menurut
Menteri Agama KH. Mohammad Dahlan ketika itu, konsep lembaga fatwa mencerminkan
pandangan pemerintah terhadap ulama. Pemerintah ingin mencari jalan untuk
bekerjasama dengan para ulama dengan lebih baik oleh karena pemerintah melihat
ulama sebagai partner dan kawan terpercaya dalam pembangunan negara
dan bangsa. Menteri menambahkan bahwa pemerintah tidak mempunyai niat untuk
mendikte ulama.
Letjend
Alamsjah,[26] yang
ketika itu menjadi Sekretaris negara dan juga aktif sebagai wakil ketua dewan
pertimbangan PDII berkata dalam konferensi tersebut agar ulama memahami program
pemerintah dan hendaknya jangan selalu mengambil tempat di pihak oposisi.
Sebaliknya, ulama hendaknya dapat bekerjasama menyukseskan program pemerintah
“demi umat Islam”. Bekas koordinator staff Pribadi presiden Soeharto ini
menggesa ulama untuk membuang pendekatan politik dalam berpikir. Oleh karena
ini, katanya, akan hanya menghasilkan perpecahan pada kalangan umat Islam.[27]
Pemikiran
untuk mendirikan lembaga fatwa itu memang berasal dari pemerintah. Tetapi,
tidak semua pihak di konferensi setuju dengan ini, dan oleh sebab itu,
pemikiran tersebut harus dikesampingkan, sekurang-kurangnya ditunda. Beberapa
yang hadir mengemukakan bahwa mendirikan suatu lembaga fatwa merupakan
pemikiran yang tergesa-gesa. Hamka, yang dalam tahun 1975 menjadi ketua umum
Majelis Ulama Indonesia, mengatakan bahwa lembaga itu mudah disalahgunakan oleh
penguasa. Ia mengingatkan pada suatu kejadian di zaman Belanda ketika beberapa
orang ulama mengeluarkan fatwa yang menyetujui upacara tasyakur untuk Ratu Belanda. Di masa Pendudukan Jepang, sikap
seperti itu juga terjadi. Hamka berpandangan bahwa daripada mendirikan lembaga
fatwa, ia lebih setuju untuk membuat jabatan baru, yaitu mufti atau beberapa orang mufti
untuk Indonesia. Namun demikian, pemikiran ini juga ditolak oleh sebagain ulama
yang hadir. Mereka mengemukakan bahwa mufti,
seperti juga lembaga fatwa, bisa dipergunakan oleh orang lain. Akhirnya
konferensi memutuskan agar semua pendapat tentang lembaga fatwa dicatat serta
diserahkan kepada PDII untuk dikaji secara mendalam. Dengan demikian,
pemerintah tidak berhasil dalam lembaga fatwa ini.[28]
PDII
sendiri sebagai lembaga yang menggagas konferensi ulama tingkat nasional
tersebut nyatanya setelah berjalan beberapa tahun menjadi kurang aktif.
Rapat-rapat pengurus diadakan di zaman Mukti Ali[29]
menjadi Menteri Agama, tetapi tidak tercatat kemajuan yang sesungguhnya.
Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh karena masing-masing anggota pengurus
telah dibebani dengan berbagai macam tugas, di samping kenyataan bahwa tidak
ada yang menghadapi masalah PDII secara bekerja penuh. Semua tampaknya
dikerjakan secara sambilan. Mungkin
juga pemerintah sendiri tambah kurang bergairah untuk mempromosikan PDII,
sehingga kegiatan lain yang lebih didorong, yaitu usaha membentuk Majelis
Ulama.[30]
b.
Mengadakan Lokakarya Ulama Tahun 1974
Upaya
pemerintah selanjutnya untuk menggagas berdirinya Majelis Ulama terjadi pada
tahun 1974, sewaktu pemerintah pusat mengadakan lokakarya nasional bagi para
juru dakwah Muslim Indonesia. Dalam lokakarya tersebut disepakati bahwa
pembentukan Majelis Ulama semacam itu harus diprakarsai pada tingkat daerah.
Persetujuan itu tercapai setelah adanya saran Presiden Soeharto sendiri yang
dalam pidato pembukaan pada lokakarya tersebut yang menyarankan perlunya sebuah
badan nasional bagi para ulama untuk mewakili kaum muslimin dalam sebuah wadah
antaragama yang akan dibentuk kemudian.[31]
Presiden Soeharto telah berkeras hati dalam hal ini sehingga tanggal 24 Mei
1975, sewaktu menerima delegasi Dewan Masjid Indonesia, ia sekali lagi
menekankan perlunya dibentuk MUI. Presiden telah mengemukakan dengan terus
terang dua alasan. Pertama, keinginan
pemerintah agar kaum muslimin bersatu dan kedua,
kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat diselesaikan tanpa
keikutsertaan ulama.[32]
Harapan
dan usaha itu semakin nyata dan konkret setelah adanya konsensus bersama pada
lokakarya Muballig se-Indonesia yang juga diselenggarakan oleh Pusat Dakwah
Islam Indonesia tanggal 26-29 Nopember 1974. Konsensus ini antara lain
menyatakan:
Untuk memelihara dan membina kontinuitas partisipasi
umat Islam terhadap pembangunan, diperlukan adanya Majelis Ulama atau yang
semacamnya, sebagai wahana yang dapat menjalankan mekanisme yang efektif dan
efisien. Pembentukan mekanisme atau wahana ini diserahkan kepada daerah-daerah
sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing berdasarkan musyawarah antara
ulama dan ‘umara.[33]
Konsensus
ini lebih dikuatkan lagi dengan amanat Presiden Soeharto yang menyatakan bahwa,
“Membangun masyarakat juga tidak mungkin
tanpa kerukunan dan persatuan. Masyarakat yang bercerai-berai tidak akan dapat
membangun, lebih-lebih apabila umat beragamanya tidak bersatu.”[34]
c.
Menginstruksikan Berdirinya Majelis-Majelis
Ulama di Daerah Tingkat I dan II
Dalam
tahun 1975, usaha-usaha untuk mendirikan Majelis Ulama lagi-lagi diprakarsai
oleh pihak pemerintah yang mulai menyadari bahwa pembangunan bukan semata-mata
soal material saja, melainkan juga menyangkut soal spiritual. Dengan demikian,
ulama perlu berpartisipasi. Dalam bulan-bulan pertama tahun 1975,
majelis-majelis ulama didirikan di tiap ibukota provinsi, ataupun dalam hal
yang masih terus aktif seperti di Sumatera Barat diteruskan dalam rangka
kegiatan usaha tahun 1975 ini.
Sebagai
tindak lanjut dari konsensus bersama dan amanat Presiden Soeharto di atas,
usaha-usaha untuk membentuk dan mendirikan Majelis Ulama semakin diintensifkan.
Di daerah-daerah yang belum terbentuk Majelis Ulama, dengan intruksi Menteri
Dalam Negeri yang saat itu dijabat oleh Amir Machmud,[35]
mengadakan persiapan-persiapan dan menganjurkan semua gubernur untuk membentuk
majelis ulama tingkat daerah sehingga pada bulan Mei 1975, Majelis Ulama
tiap-tiap Daerah Tingkat I telah terbentuk di hampir semua dari 26 provinsi di
dalam negeri[36] dan
sebagian Daerah Tingkat II.[37]
d.
Membentuk Panitia Persiapan dan Panitia
Musyawarah Nasional pendirian MUI
Ketika
di berbagai daerah tingkat I dan II mulai dibentuk Majelis Ulama daerah, di
tingkat pusat dibentuk panitia persiapan Musyawarah Nasional ke-1 Majelis
Ulama. Panitia Persiapan ini diketuai oleh Drs. H. Kafrawi[38]
yang bertugas untuk merumuskan materi, tema, dan kegiatan Musyawarah Nasional
yang kemudian dikonsultasikan kepada Presiden Soeharto.
Setelah
panitia persiapan merumuskan materi, tema, kegiatan musyawarah, dan
dikonsultasikan ke berbagai pihak serta mendapat restu Presiden Soeharto,
tanggal 1 Juli 1975 pemerintah yang diwaklili menteri agama membentuk panitia
Musyawarah Nasional (Munas) I Majelis Ulama seluruh Indonesia yang diketuai oleh
Letjen (Purn.) H. Soedirman[39]
beserta tim penasehat, yaitu Prof. Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafi’i[40],
dan KH. Syukri Ghozali[41].
Tiga minggu kemudian, Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia
dilangsungkan tanggal 21-27 Juli 1975 di Jakarta.[42]
e.
Pelaksanaan Munas I Majelis Ulama tahun 1975
Pada
akhirnya, setelah berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan
berdirinya Majelis Ulama, suatu Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama
dilangsungkan dari tanggal 21-27 Juli 1975 di Jakarta. Para peserta Musyawarah
Nasional itu terdiri dari majelis-majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para
wakil pengurus pusat dari sepuluh organisasi Islam yang ada, sejumlah ulama
independen dan empat orang wakil rohaniwan Islam ABRI.[43]
Di akhir Munas itu, dibuat suatu deklarasi yang ditandatangani oleh 53 orang
peserta yang mengumumkan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 26
Juli 1975 dengan ketua umum pertama yang terpilih di masa itu adalah seorang
penulis dan ulama terkenal, Prof. Dr. Hamka.
Berdasarkan
hasil Munas tersebut, Majelis Ulama yang baru ini disebut Majelis Ulama
Indonesia dengan fungsi pokok, yaitu: pertama,
Mengeluarkan fatwa dan nasihat kepada pemerintah tentang soal-soal yang
bersangkutan dengan agama dan masyarakat dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, Mempererat persaudaraan Islam serta
menjaga kerukunan hidup dengan golongan agama lain. Ketiga, Mewakili masyarakat Islam dalam berhadapan dengan
masyarakat agama lain. Keempat, Menjadi
perantara dan penghubung anatara ulama dan para penguasa dan menerjemahkan
kebijaksanaan pembangunan yang direncanakan pemerintah sedemikian rupa agar
mudah dipahami oleh rakyat biasa.[44]
Munas
juga menekankan bahwa Majelis Ulama tidak akan aktif berpolitik, dan bahwa ia
tidak akan melakukan kegiatan yang dikerjakan oleh organisasi-organisasi Islam
yang sudah ada. Jadi umpamanya, Majelis
Ulama tidak akan membangun sekolah dan masjid, dan juga tidak akan mengumpulkan
zakat.
Hamka,
ketua umum MUI pertama, mula-mula juga enggan untuk menerima baik
pengangkatannya itu bahkan untuk mengakui pembentukan MUI. Namun, Mukti Ali
(Menteri Agama 1971-1978), secara tepat menyatakan, pada waktu peresmian para
anggota pimpinan dewan MUI yang pertama pada tanggal 27 Juli 1975, “Hari ini adalah hari terbentuknya MUI. Pada
hari ini, di tempat ini, kita kubur untuk selamanya perpecahan antara sesama
kaum muslimin, dan pada hari ini, di tempat ini juga, kita kubur rasa tidak
saling percaya dan saling curiga antara kaum ulama dan pemerintah.”[45]
Hamka
dipilih sebagai ketua umum MUI dengan didampingi lima orang ketua dan beberapa
anggota. Di samping Dewan Pimpinan, terdapat Pelindung Bapak Presiden, dan
Dewan Pertimbangan yang diketuai Menteri Agama dengan anggota Mendagri, Menteri
P dan K, dan ulama-ulama terkemuka dari Jakarta dan daerah. Pada malam
penutupan Munas tanggal 27 Juli 1975, Hamka, ketua umum MUI menyampaikan pidato
yang berisi pandangan dan persepsinya tentang kepemimpinan ulama.[46]
Hamka menyadari betapa sulitnya kedudukan ulama itu, apalagi menyandang jabatan
ketua MUI yang berdiri di antara pemerintah dan umat.[47]
C.
KESIMPULAN
Ulama dikenal
sebagai pemimpin umat Islam, tidak saja dalam bidang keagamaan, tetapi juga
dalam bidang kemasyarakatan. Dilihat dari sejarahnya, khususnya sejarah bangsa
Indonesia, ulama telah memainkan peranan penting di setiap zaman. Sebut saja di
masa kerajaan Islam, tak jarang ulama berada dalam lingkaran kekuasaan dan
bahkan menjadi pucuk pimpinan kerajaan itu sendiri. Di masa penjajahan dan
pergerakan, ulama juga berperan dalam memerdekaan dan mempertahankan
kemerdekaan. Meskipun kiprah ulama sempat menurun ketika masa Orde Lama,
terutama masa Demokrasi Terpimpin, namun memasuki masa Orde Baru, ulama kembali
dirangkul dan dibentuk wadah baru untuk menampung pemikiran dan kiprahnya,
yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Paling tidak, sedikitnya telah terjadi tiga peristiwa
poitik penting di dalam negeri sebelum terbentuknya MUI. Pertama, Pemilu 1971 dengan lahirnya Golkar yang bersifat sekular
dan kemunduran peranan partai-partai politik Islam; pengurangan jumlah
parpol-parpol Islam menjadi satu tanpa menyandang sebutan Islam lagi; dan
diajukannya RUU Perkawinan yang semula bersifat sekular. Para ulama melihat hal
itu sebagai tanda-tanda pendirian dasar pemerintah terhadap Islam; dengan
diliputi suasana demikian itulah maka para ulama merasa enggan untuk menyetujui
usul pemerintah untuk membentuk MUI. Pembentukan MUI oleh kebanyakan kaum
muslimin dipandang sebagai “pengebirian” kaum ulama.
Usaha-usaha ke
arah perwujudan ini sudah lama dirintis oleh pemerintah Orde Baru, baik melalui
pertemuan-pertemuan resmi, seperti musyawarah maupun konsultasi-konsultasi.
Salah satunya melalui Musyawarah Alim Ulama se-Indonesia di Jakarta tanggal 30
September hingga 4 Oktober 1970 yang diprakarsai PDII, mengadakan lokakarya ulama tahun 1974, menginstruksikan
berdirinya Majelis-Majelis Ulama di Daerah Tingkat I dan II oleh Menteri Dalam
Negeri, membentuk panitia persiapan dan panitia Munas pendirian MUI, dan
melaksanakan Munas I Majelis Ulama tahun 1975. Dalam pelaksanaan Munas itulah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan sebagai wadah untuk menampung pemikiran
para ulama dengan Hamka terpilih secara aklamasi sebagai ketua umumnya.
D.
DAFTAR
SUMBER
Abdul Azis Thaba. 1996. Islam dan Negara: Dalam Politik Orde Baru
(1966-1994). Jakarta: Gema Insani Press.
Abdul Munir Mulkan. 1992. Runtuhnya
Mitos Poltiitk Santri. Yogyakarta: SIPRESS.
Boland, B. J. 1985. Pergumulan
Islam di Indonesia. Terj. Safroedin Bahar. Jakarta: Grafiti Pers.
Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan
Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta:
Paramadina.
Deliar Noer. 1983. Administrasi Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy. 1990. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa
Orde baru. Bandung: Mizan.
M. Atho Mudzhar. 1990. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Jakarta:
Majelis
Ulama Indonesia 1976. 1976. Jakarta:
Sekretariat MUI Masjid Agung al-Azhar.
Majelis Ulama Indonesia. 2010. 35 tahun Majelis Ulama Indonesia.
Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.
Nasir Tamara, dkk. (Peny.). 1983. Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar
Harapan.
Panitia Munas MUI. 1976. Ulama dan Pembangunan. Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia.
Rusydi Hamka. 1981. Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA. Jakarta: Pustaka
Panjimas.
[1] Hadits yang diriwayatkan
at-Tirmidzi dari Abu Darda RA.
[2] Perkataan Imam Malik
yang menggambarkan kedudukan ulama di tengah-tengah umat Islam.
[3] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, (Jakarta:
INIS, 1993), hlm. 53.
[4] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., hlm. 54.
[5] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., hlm. 54.
[6] Panitia Munas MUI, Ulama dan Pembangunan, (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1976), hlm. 11.
[7] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., hlm. 56.
[8] Tokoh-tokoh Masyumi yang ditahan pada masa itu diantaranya Mohammad
Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto
Mangkusasmito, dan Hamka. Lihat B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, terj. Safroedin Bahar, (Jakarta:
Grafiti Pers, 1985), hlm. 154-155. Lihat pula Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 111.
[9] Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara: Dalam Politik Orde Baru
(1966-1994), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.241-243.
[10] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama..., hlm. 58. Lihat dalam Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde baru, (Bandung: Mizan, 1990), hlm.108.
[11] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah
Jalan Baru..., hlm.108; B. J. Boland, Pergumulan
Islam..., hlm. 158. Lihat Pula Bahtiar Effendy, Islam dan Negara..., hlm. 113-114.
[12] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama..., hlm. 58-59.
[13] Bahtiar Effendy, Islam dan
Negara..., hlm 117-118.
[14] Bahtiar Effendy, Islam dan
Negara..., hlm 117-118. Lihat pula M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., hlm. 59.
[15] Bahtiar Effendy, Islam dan
Negara..., hlm. 117-118.
[16] Deliar Noer, Administrasi Islam
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), hlm. 137.
[17] Panitia Munas MUI, Ulama dan
Pembangunan, hlm. 11.
[18] Lihat Bahtiar Effendi, Islam dan Negara..., hlm. 117-118.
[19] Lihat Abdul Munir Mulkan, Runtuhnya Mitos Politik Santri,
(Yogyakarta: SIPRESS, 1992), hlm.
38-39.
[20] Lihat Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara..., hlm. 256-261.
[21] Lihat M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama..., hlm. 62-63.
[22] Majelis Ulama Indonesia, 35 Tahun
Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2010), hlm. 9.
[23] KH. Mohammad Dahlan pada saat itu menjabat menteri agama pertama pada
masa pemerintahan Orde Baru yang menjabat sejak 1967-1971.
[24] Deliar Noer, Administrasi Islam
Indonesia, hlm. 135.
[25] Deliar Noer, Administrasi Islam
Indonesia, hlm. 136-137.
[26] Letjend Alamsyah Ratu Prawiranegara saat itu menjabat sebagai menteri
sekretaris negara yang juga aktif sebagai wakil ketua dewan pertimbangan PDII,
nantinya menjabat sebagai menteri agama tahun 1978-1983 menggantikan Mukti Ali.
[27] Deliar Noer, Administrasi Islam
Indonesia, hlm. 138.
[28] Deliar Noer, Administrasi Islam
Indonesia, hlm. 138-139. Lihat pula M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., hlm. 64.
[29] Mukti Ali merupakan menteri agama yang menjabat sejak tahun 1971-1978.
Dia merupakan salah satu penggagas berdirinya MUI dan banyak berjasa dalam
eksistensi MUI itu sendiri.
[30] Deliar Noer, Administrasi Islam
Indonesia, hlm. 139-140.
[31] Presiden Soeharto menginginkan adanya wadah yang menampung pemikiran
ulama yang mewakili umat Islam Indonesia, Seperti halnya Katolik ada MAWI
(Majelis Agung Waligereja Indonesia), dalam Protestan ada DGI (Dewan
Gereja-Gereja di Indonesia), Sekretariat Kerjasama Kepercayaan. Lihat Majelis Ulama Indonesia 1976, (Jakarta:
Sekretariat MUI Masjid Agung al-Azhar, 1976), hlm. 9. Lihat pula Panitia Munas
I MUI, Ulama dan Pembangunan, hlm.
12.
[32] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama..., hlm. 54-55.
[33] Panitia Munas MUI, Ulama dan Pembangunan,
hlm. 11-12.
[34] Panitia Munas MUI, Ulama dan
Pembangunan, hlm. 12.
[35] Amir Machmud merupakan menteri dalam negeri yang menjabat sejak tahun
1969-1983 yang berasal dari latar belakang militer.
[36] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama..., hlm. 56. Lihat pula Majelis
Ulama Indonesia 1976, hlm. 9-10; Panitia Munas I MUI, Ulama dan Pembangunan, hlm. 12.
[37] Panitia Munas MUI, Ulama dan
Pembangunan, hlm. 12.
[38] Drs. Kafrawi, MA merupakan Sekretaris Jenderal Departemen Agama yang
nantinya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal MUI tahun 1975-1980 dan juga
sebagai salah satu dari ketua harian MUI 1980-1985.
[39] Letjend H. Sudirman merupakan jenderal purnawirawan ABRI yang juga
sebagai Rohaniwan ABRI.
[40] KH. Abdullah Syafi’i merupakan tokoh ulama yang terkenal dengan
kegiatannya dalam berdakwah dan ketegeuhan hatinya dalam mendidik umat. Lihat
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya
Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1981), hlm. 247-263.
[41] KH. Syukri Ghozali merupakan ulama NU yang sangat fasih dalam
mempelajari kitab kuning (klasik). Lihat M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama..., hlm. 65-66.
[42] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama..., hlm. 56.
[43] Para peserta Munas I MUI berjumlah 53 orang yang juga sebagai
penandatangan berdirinya Majelis Ulama Indonesia tahun 1975. Lihat Majelis
Ulama Indonesia, 35 Tahun Majelis Ulama
Indoneisa, hlm. 16-18.
[44] Deliar Noer, Administrasi Islam
Indonesia, hlm. 141-142.
[45] M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa
Majelis Ulama..., hlm. 62-63.
[46] Lihat lampiran pidato sambutan Hamka sebagai ketua umum MUI yang dimuat
dalam Rusydi Hamka, Pribdai dan
Martabat..., hlm. 247-263.
[47] Nasir Tamara, dkk., (ed.), Hamka
di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 58-64.
Tidak ada komentar untuk "Ulama Dalam Pemerintahan Orde Baru: Studi Historis Upaya Pemerintah Dalam Pendirian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 1975"
Posting Komentar