Perjuangan Diplomasi: Perundingan-Perundingan Hingga Pengakuan Kedaulatan Indonesia

 



PERJUANGAN DIPLOMASI:
PERUNDINGAN-PERUNDINGAN HINGGA PENGAKUAN KEDAULATAN INDONESIA

 

Oleh

Muhamad Sidik, S.Hum.

 

A.           PENDAHULUAN

Cita-cita terbesar dari segenap rakyat Indonesia yang kala itu berada dalam belenggu penjajah selama lebih dari ratusan tahun adalah tercapainya kemerdekaan. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perjuangan dan perlawanan melawan penjajah terus dilakukan baik itu melalui peperangan, diplomasi, organisasi pergerakan dan sebagainya. Selama perjuangan tersebut telah memakan banyak korban baik itu korban jiwa, harta dan tenaga yang tak terhingga jumlahnya.

Perjuangan dan pengorbanan yang terus-menerus dilakukan itu pada akhirnya mulai menmukan titik terang tatkala semakin derasnya faktor pendorong menuju terwujudnya kemerdekaan. Bermula dari diberlakukannya politik etis yang membuka rakyat Indonesia memasuki dunia pendidikan dengan program edukasinya, lahirnya golongan terpelajar, hingga tumbuh suburnya organisasi pergerakan nasional. Faktor-fakor inilah yang nantinya semakin memupuk rasa nasionalisme dan persatuan bangsa untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajah. Perjuangan ini sampailah kepada suatu titik dimana cita-cita besar tersebut benar-benar terwujud dengan dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarno tanggal 17 Agustus 1945.[1]

Proklamasi kemerdekaan Indonesia telah membuka gerbang baru bagi kehidupan rakyat Indonesia. Namun, pasca-merdeka tidak serta merta berubah menjadi kondusif. Justru sebaliknya, situasi saat itu dipenuhi gejolak yang penuh perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan di tengah upaya Belanda untuk menguasai kembali Indonesia. Perjuangan itu rupanya tidaklah sia-sia karena pada akhirnya pengakuan kedaulatan itu datang juga setelah melalui berbagai perundingan. Masa dimana awal kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan yang dipenuhi gejolak ini yang kemudian disebut Masa Revolusi Fisk. Salah satu perjuangan yang dilakukan adalah melalui diplomasi berupa perundingan-perundingan hingga tercapainya suatu pengakuan kedaulatan.[2]

 

B.            PEMBAHASAN

1.             Gambaran Singkat Proklamasi dan Revolusi Fisik

Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan 17 Agustus 1945 telah membuka gerbang baru bagi kehidupan rakyat Indonesia. Namun, pasca-merdeka tidak serta merta berubah menjadi kondusif. Justru sebaliknya, situasi saat itu dipenuhi gejolak yang penuh perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut di tengah upaya Belanda untuk menguasai kembali Indonesia. Perjuangan itu rupanya tidaklah sia-sia karena pada akhirnya pengakuan kedaulatan itu datang juga setelah melalui berbagai perundingan. Masa dimana awal kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan yang dipenuhi gejolak ini yang kemudian disebut Masa Revolusi Fisik.[3]

Pada masa Revolusi Fisik berkecamuk, berbagai peristiwa terjadi sebagai lanjutan perjuangan berikutnya. Meskipun Indonesia telah merdeka, nyatanya tidak menyurutkan Belanda untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan Belanda dilakukan untuk mencapai tujuannya itu. Salah satu diantaranya yang paling besar adalah aksi polisionil yang dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I dan II. Melihat kenyataan demikian, rakyat Indonesia tentu saja tidak tinggal diam demi mempertahankan kemerdekaan yang telah lama diperjuangkan. Berbagai perlawanan dilakukan di berbagai daerah, seperti, pertempuran di Surabaya, Pertempuran Ambarawa, hingga Peristiwa Bandung Lautan Api.[4]

Di samping perjuangan melalui pertempuran dan peperangan, upaya lain untuk mempertahankan kemerdekaan adalah melalui jalur diplomasi berupa perundingan-perundingan. Di antara perundingan yang dilakukan, yaitu Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville, Perundingan Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Barulah setelah dirampungkannya KMB, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.

2.             Perundingan-Perundingan Hingga Pengakuan Kedaulatan Indonesia

Perjuangan yang melelahkan dalam mempertahankan kemerdekaan di tengah upaya Belanda untuk mengambil alih kekuasaan tidak hanya berupa pertempuran dan pertarungan fisik saja, tetapi juga melalui jalur diplomasi berupa perundingan-perundingan. Adapun perundingan yang dilakukan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

a.    Perundingan Linggarjati

Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 namun Belanda tetap menekan Indonesia dan ingin menancapkan kekuasaannya kembali. Ketegangan antara Indonesia dan Belanda yang semakin hebat mendorong Inggris yang merasa bertanggungjawab atas masuknya Belanda ke Indonesia, mencari jalan keluar untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Duta istimewa Inggris di Asia Tenggara, Lord Killearn, datang menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta tanggal 26 Agustus 1946 dan menyodorkan diri menjadi perantara dalam perundingan Indonesia-Belanda.[5]

Sebelum Perundingan Linggarjati berlangsung pada tanggal 1 November 1946, Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kepala Staf Letjen Urip Sumoharjo di Jakarta menandatangani gencatan senjata. Seterusnya tanggal 4 November 1946, pemerintah Belanda menyampaikan notanya kepada Staten General, bahwa Pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin Presiden Soekarno adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.[6]

Walaupun begitu, Perundingan Linggarjati berlangsung juga pada tanggal 15 November 1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Sebagai penengah adalah Lord Killearn dari Inggris. Isi Perundingan Linggarjati, yaitu:

1)   Pengakuan status de facto RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera oleh Belanda.

2)   Pembentukan negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS).

3)   Pembentukan Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala negara.

4)   Pembentukan RIS dan Uni Indonesia-Belanda sebelum 1 Januari 1949.[7]

Wilayah RIS dalam kesepakatan tersebut mencakup daerah bekas Hindia Belanda yang terdiri atas Republik Indonesia, Kalimantan, dan Timur Besar. Persetujuan tersebut dilaksanakan pada 15 November 1946 dan baru memperoleh ratifikasi dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 25 Februari 1947 yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Negara Jakarta.

Hasil Perjanjian Linggarjati memiliki kelemahan dan keuntungan bagi Indonesia. Kelemahannya, bila ditinjau dari segi wilayah kekuasaan, daerah RI menjadi sempit. Tetapi bila ditinjau dari segi keuntungannya, kedudukan Indonesia di mata internasional semakin kuat karena banyak negara seperti Inggris, Amerika, dan negara-negara Arab mengakui kedaulatan negara RI. Hal ini tidak terlepas dari peran politik diplomasi Indonesia yang dilakukan oleh Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Sujatmoko, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[8]

b.    Perundingan Renville

Perundingan Renville dilaksanakan di geladak kapal U.S.S. Renville milik Amerika Serikat pada 8 Desember 1947-17 Januari 1948. Dari pihak Indonesia diutus Amir Syarifudin, dan dari pihak Belanda diutus R. Abdulkadir Wijoyoatmojo, dan dari pihak penengah adalah Komisi Tiga Negara (KTN).

Adapun Isi perundingan Renville adalah sebagai berikut:

1)      Persetujuan gencatan senjata antara Belanda dengan Indonesia

2)      Menyelesaikan pertikaian secara damai melalui bantuan KTN.

3)      Kedaulatan Indonesia sementara ada pada pihak Belanda, dan selanjutnya akan diserahkan pada Negara Indonesia Serikat, dimana:

a)      Di antara wilayah RI dan pendudukan Belanda dibuat garis batas daerah (demarkasi) yang disebut garis Van Mook.

b)      TNI ditarik dari kantong-kantong gerilya ke wilayah RI.[9]

Namun, Belanda melakukan pelanggaran perjanjian ini dengan menyerang kota Yogyakarta melalui Agresi Militer Belanda II serta melakukan penangkapan terhadap presiden, wakil presiden, panglima tertinggi dan menteri pertahanan. Namun, sebelum ditawan Soekarno sempat mengirimkan radiogram kepada Menteri Kemakmuran, Syafruddin Prawinegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 19 Desember 1948.

PBB kemudian membentuk UNCI (United Nations Commission for Indonesia)  dengan pimpinan Merle Cohran untuk menyelesaikan masalah rumit yang dialami Indonesia-Belanda. Melalui politiknya, Belanda membuat negara-negara boneka di Indonesia melalui pembentukan negara-negara bagian dalam wilayah Republik Indonesia. Tujuannya adalah agar dapat mengepung kedudukan pemerintahan RI atau mempersempit wilayah kekuasaan RI.[10]

c.    Perundingan Roem-Royen

Komisi Liga Bangsa-Bangsa untuk Indonesia UNCI (United Nations Commissionis for Indonesia) mendapat mandat dari Dewan Keamanan untuk melaksanakan ruling tersebut. Adapun langkah-langkah yang diambil oleh Komisi yakni dengan melakukan pendekatan dengan pihak Belanda melalui Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. J.M.L. Beel dan Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno, hingga akhirnya baik pihak Belanda maupun pihak Republik Indonesia bersedia menerima ruling Dewan Keamanan tersebut. Selanjutnya diadakan persiapan, untuk melakukan perundingan sesuai dengan salah satu isi dari ruling Dewan Keamanan. Dari pihak Pemerintah Belanda menunjuk Dr. J. H. van Roijen yang saat itu menjabat Kepala Perutusan Pemerintah Belanda di LBB sebagai Ketua Delegasi Belanda dalam perundingan yang akan segera dilaksanakan, sedangkan dari pihak Republik Indonesia menunjuk Mr. Mohammad Roem sebagai Ketua Delegasi RI.[11]

Delegasi Indonesia menuntut agar perundingan-perundingan selanjutnya baru diadakan setelah pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Ibukota Yogyakarta, sebaliknya Pemerintah Belanda juga menghendaki agar terlebih dahulu pihak RI menghentikan perang gerilyanya secara tuntas, sehingga pada awal bulan Mei sudah nampak tanda-tanda bahwa perundingan akan memperoleh kemajuan yang diharapkan.

Tanggal 6 Mei 1949 Ketua Delegasi Republik Indonesia, Mr. Mohammad Roem bertolak ke Bangka untuk berkonsultasi dengan Presiden dan Wakil Presiden Soekarno dan Hatta yang tengah berada di pengasingan. Roem berupaya meminta persetujuan kepada kedua pemimpin Republik mengenai naskah pernyataan yang telah disetujui bersama antara Mr. Mohammad Roem dan Dr. J.H. van Roijen, atas bantuan Merle Cochran yang tengah menjalankan tugasnya untuk melaksanakan ruling Dewan Keamanan LBB pada tanggal 23 Maret 1949. Adapun Soekarno dan Hatta segera menyetujui rencana naskah pernyataan itu dan Mohammad Roem memperoleh wewenang untuk menandatangani naskah tersebut. Setelah selesai melakukan konsultasi, maka pada hari itu juga Mr. Moh. Roem kembali ke Jakarta dan esok harinya dilangsungkan penandatanganan naskah pernyataan hasil perundingan itu.[12]

Adapun Perundingan yang ditandatangani oleh Mr. Mohammad Roem dan Dr. J. H. van Roeijen pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian lebih dikenal dengan nama “Persetujuan Roem-Roijen”, dan isi dari persetujuan tersebut sebenarnya lebih merupakan pernyataan kesediaan berdamai antara kedua belah pihak, yaitu:

1)   Pengembalian pemerintahanan Republik Indonesia ke Yogyakarta dilaksanakan tanggal 24 Juni 1949.

2)   Perintah penghentian perang gerilya.

3)   Konferensi Meja Bundar akan dilaksanakan di Den Haag.[13]

Namun demikian hasil   Peretujuan Roem-Roijen ini juga mendapat reaksi yang beragam dari berbagai pihak di Indonesia. Reaksi yang cukup keras terutama datang dari pihak militer Tentara Republik Indonesia (TRI) dan dari pihak Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).  Dengan tercapainya persetujuan tentang pengembalian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia atas daerah Yogyakarta, maka persoalan berikut yang harus mendapat perhatian adalah sebagai berikut:

1)   Pembentukan sebuah pemerintahan nasional yang akan berfungsi sebagai Pemerintahan Sementara sampai terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

2)   Penyerahan kedaulatan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, termasuk status Uni-Indonesia, antara lain perjanjian-perjanjian sementara.[14]

Adapun menyoal tentang pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta, Mr. Mohammad Roem menyatakan pendapatnya bahwa usaha pengembalian itu sudah dapat dilaksanakan dalam dua minggu mendatang, kemudian mengenai kapan akan dilaksanakannnya Konferensi Meja Bundar (KMB) Mr. Mohammad Roem menjelaskan bahwa soal waktu belum dapat dipastikan, karena hal itu baru dapat ditentukan setelah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta dan setelah dibahas serta diputuskan dalam suatu rapat kabinet. Ketentuan itu juga berlaku bagi keterlibatan BFO (Bijeenkomst Federal Overleg) dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Konferensi Inter-Indonesia yang disarankan oleh pihak BFO. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa setelah Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Ibukota Yogyakarta maka dengan sendirinya fungsi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) berhenti, Mr. Sjafruddin Prawiranegara akan kembali menduduki jabatannya semula seperti sebelum terjadinya Agresi Militer Belanda ke-2, yakni sebagai Menteri Pertahanan dan mewakili urusan luar negeri, sedangkan Mr. A.A. Maramis kembali menduduki jabatan sebagai Menteri Luar Negeri.[15]

d.   Konferensi Meja Bundar (KMB)

Sebagai kelanjutan dari hasil perjanjian Roem-Royen, diadakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai solusi atas permaslahan yang terjadi. KMB merupakan pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang diadakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus hingga 2 Nopember 1949. Sebagaimana perjanjian-perjanjian sebelmunya, KMB pun berjalan alot walaupun akhirnya menghasilkan beberapa keputusan. Adapun hasil dari KMB ini adalah sebagai berikut:

1)   Belanda mengakui RIS sebagai negara merdeka dan berdaulat.

2)   Status Irian Barat diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan.

3)   Akan dibentukUni Indonesia-Belanda.

4)   RIS mengembalikan hak milik belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru utk perusahaan-perusahaan Belanda.

5)   Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.[16]

Sebagai tindak lanjut dari KMB tersebut, tanggal 27 Desember 1949, Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), tidak termasuk Papua. Setelah penandatanganan KMB tersebut, pemerintahan sementara dibentuk dengan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai perdana menteri yang segera membentuk kabinet Republik Indonesia Serikat.[17]

C.    KESIMPULAN

Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan 17 Agustus 1945 telah membuka gerbang baru bagi kehidupan rakyat Indonesia. Namun, pasca-merdeka tidak serta merta berubah menjadi kondusif. Justru sebaliknya, situasi saat itu dipenuhi gejolak yang penuh perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut di tengah upaya Belanda untuk menguasai kembali Indonesia. Perjuangan itu rupanya tidaklah sia-sia karena pada akhirnya pengakuan kedaulatan itu datang juga setelah melalui berbagai perundingan. Masa dimana awal kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan yang dipenuhi gejolak ini yang kemudian disebut Masa Revolusi Fisik.

Pada masa Revolusi Fisik berkecamuk, berbagai peristiwa terjadi sebagai lanjutan perjuangan berikutnya. Meskipun Indonesia telah merdeka, nyatanya tidak menyurutkan Belanda untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia. Berbagai upaya dilakukan Belanda dilakukan untuk mencapai tujuannya itu. Salah satu diantaranya yang paling besar adalah aksi polisionil yang dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I dan II. Melihat kenyataan demikian, rakyat Indonesia tentu saja tidak tinggal diam demi mempertahankan kemerdekaan yang telah lama diperjuangkan. Berbagai perlawanan dilakukan di berbagai daerah, seperti, pertempuran di Surabaya, Pertempuran Ambarawa, hingga Peristiwa Bandung Lautan Api.

Di samping perjuangan melalui pertempuran dan peperangan, upaya lain untuk mempertahankan kemerdekaan adalah melalui jalur diplomasi berupa perundingan-perundingan. Di antara perundingan yang dilakukan, yaitu Perundingan Linggarjati, Perundingan Renville, Perundingan Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Barulah setelah dirampungkannya KMB, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.


D.    DAFTAR SUMBER

Kahin, Audrey. 1990. Pergolakan Daerah: Pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: Pustaka Utama Grafis.

Kahin, George Mc-Turnan. 2008. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Kartodirdjo, Sartono. 1993. Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lapian, A. B. dan Drooglever P. J. 1992. Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti.

Nasution, A.H. 1984. Sekitar Perang Kemerdekaan, Periode Renville. Bandung: Angkasa.

Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia. 2004. Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945-1950. Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.

Pusponegoro, Marwati Djoenoed dan Nugroho Notosusanto (ed). 2008. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M. C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rutgers, S. J. 2012. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Tim Peneliti ANRI. 2004. Konferensi Meja Bundar (KMB). Jakarta: ANRI.

 



[1] George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 1995), hlm 428.

[2] Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945-1950, (Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2004), hlm 47.

[3] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 336-337.

[4] George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, hlm. 428.

[5] A.B. Lapian & Drooglever P.J, Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi Dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti,1992)

[6] Audrey Kahin, Pergolakan Daerah: Pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafis, 1990), hlm. 13-14.

[7] A.B. Lapian & Drooglever P.J, Menelusuri Jalur Linggarjati..., hlm. 45.

[8] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 336-337.

[9] A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, Periode Renville, (Bandung: Angkasa, 1984), hlm 139.

[10] Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 223-225.

[11] Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, Sejarah Diplomasi..., hlm. 86.

[12] S. J. Rutgers, Sejarah Pergerakan..., hlm. 100-102.

[13] Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 230-233.

[14] Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 233-235.

[15] Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 240-242.

[16] Tim Peneliti ANRI, Konferensi Meja Bundar (KMB), (Jakarta: ANRI, 2004). hlm 47-48.

[17] Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah Nasional Indonesia, hlm. 301-303.

Tidak ada komentar untuk "Perjuangan Diplomasi: Perundingan-Perundingan Hingga Pengakuan Kedaulatan Indonesia"