BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH MALIK BIN NABI
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH MALIK BIN NABI
Oleh
Muhamad
Sidik, S.Hum.
A.
Pendahuluan
Dalam merekonstruksi peristiwa di masa lalu diperlukan
pisau analisis berupa teori-teori sejarah dan pendekatan-pendekatan termasuk
juga filsafat sejarah. Istilah filsafat sejarah sendiri mula-mula digunakan
oleh Voltaire dalam pengantar bukunya yang berjudul Philosophie de I’Historie yang berarti filsafat sejarah. Buku
tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis Voltaire dalam rentang tahun
1753-1758 yang banyak mengulas pemikirannya tentang sejarah. Sejak itulah
istilah filsafat sejarah mulai dikenal secara luas oleh masyarakat.[1]
Zainab El-Hudhairi mendefinisikan filsafat sejarah
sebagai tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa sejarah secara filosofis untuk
mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan historis itu
yang kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap dan mengarahkan pada
perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi.
Sementara Rustam E. Tamburaka mendefiniskan filsafat sejarah sebagai ilmu
filsafat yang ingin memberi jawaban atas sebab dan alasan segala peristiwa
sejarah.[2]
Dengan demikian, filsafat sejarah dapat diartikan sebagai pemikiran yang
mendalam dan komperehensif untuk melakukan kajian studi dunia sejarah untuk
menemukan postulat (dalil) dan
argumentasi yang rasional baik mengenai peristiwa, pelaku, gerak, irama, dan dinamika
sebagai hal yang menyangkut dunia sejarah.
Dalam sejarah perkembangannya, filsafat sejarah di Barat
mengalami perkembangan yang menakjubkan yang ditandai dengan munculnya
pemikir-pemikir besar di bidang sejarah. Para pemikir itu antara lain St.
Agustinus (1354-1430) yang terkenal dengan paham Sejarah Teologis; August Comte
(1798-1854) dengan filsafat positivisme Hukum Tiga Tahapnya; Herbert Spencer
dengan teori evolusi – di samping yang dikembangkan Darwin; Oswald Spengler
(1880-1936) yang terkenal dengan teori Daur Kultur Sejarah-nya; G.W.F. Hegel
(1770-1831) yang terkenal dengan filsafat sejarah spekulatif, filsafat sejarah
formal dan material; Karl Marx (1818-1883) dengan Materialisme Historis-nya;
hingga Arnold J. Toynbee (1889-1975) dengan teorinya tentang Tantangan dan
Jawaban (Challenge and Response).[3]
Sementara itu, perkembangan pemikiran tentang filsafat
sejarah di dunia Islam tak semaju di dunia Barat. Meskipun begitu, bukan
berarti perdebatan filsafat sejarah di dunia Islam mati. Sebagai bukti, Ibnu
Khaldun adalah seorang filosof Islam terkemuka di dunia Islam yang membahas
tentang filsafat sejarah. Karyanya yang berjudul Muqadimah merupakan karya
yang banyak menguraikan tentang filsafat sejarah dengan teorinya “The Culture Cycle Theory of History”.
Ibnu Khadun berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah siklus dari setiap
kebudayaan dan peradaban yang mengalami masa lahir, berkembang, puncak,
kemudian kemunduran dan akhirnya lenyap atau hancur.
Di samping Ibnu Khaldun, pemikir Islam lain yang memusatkan perhatiannya tentang filsafat sejarah, diantaranya adalah Malik Bin Nabi. Dalam bukunya Membangun Dunia Baru Islam, Malik Bin Nabi banyak mengupas tentang sejarah. Ia mendasarkan teori filsafat sejarahnya kepada pemikirannya tentang peradaban. Menurutnya, peradaban adalah keseluruhan sarana moral dan material yang menjadikan masyarakat memberikan semua pelayanan sosial yang diperlukan setiap anggotanya untuk kemajuan. Sebagaimana Ibnu Khaldun, Malik Bin Nabi menginterpretasi sejarah Islam secara umum dalam perspektif teori siklus. Ia menguraikan pemikirannya dalam wujud tiga tangga peradaban, yaitu tangga spiritual, tangga rasional, dan tangga naluri.[4] Pemikiran filsafat sejarah Malik Bin Nabi inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.
B.
Pembahasan
1. Biografi Malik Bin Nabi
Malik Bin Nabi lahir di kota Kosnstantin, Aljazair
tanggal 1 Desember 1905. Ia merupakan satu-satunya anak laki-laki dari lima
bersaudara. Bin Nabi di usia kecilnya memasuki sebuah sekolah al-Qur’an (kuttab). Pada tahun 1921, Bin Nabi masuk
ke Madrasah Kosntantin, suatu sekolah yang didirikan untuk mencetak suatu kelas
birokrat yang pengajarannya diberikan dalam bahasa Arab dan Perancis. Selama
periode ini, ia juga bergabung dengan Majelis Pengajaran di Masjid Agung Kosntantin
untuk belajar bahasa Arab dari Syeikh Abdul Majid.
Saat berusia 20 tahun, ia berangkat ke Perancis dan
bekerja pada sejumlah pekerjaan. Tahun 1927, ia kembali ke Aljazair dan bekerja
sebagai asisten anggota pengadilan yang kemudian tahun 1930 kembali lagi ke
Perancis untuk melanjutkan pendidikannya. Selanjutnya ia menikah tahun 1931
dengan seorang wanita Perancis dan bergabung dengan kelompok mahasiswa Arab
dalam rangka asosiasi rahasia. Bin Nabi harus meninggalkan Perancis dan pergi
ke Mesir tahun 1956 sebagai pengungsi politik yang kemudian tinggal di Kairo.
Di sana Bin nabi memperlihatkan komitmennya terhadap usaha kemerdekaan
negaranya. Ia baru pulang ke Aljazair tahun 1963, satu tahun setelah
kemerdekaan Aljazair tahun 1962. Selanjutnya Bin Nabi melanjutkan kegiatan
manulis dalam berbagai surat kabar dan menerjemahkan tulisannya ke dalam bahasa
Arab. Selama kembali ke Aljazair ini ia memusatkan perhatiannya pada analisis
terhadap terhadap isu tentang kevakuman ideologis setelah kemerdekaan dicapai.[5]
Pada tahun 1965, Bin Nabi diangkat sebagai Direktur
Kajian Tinggi dalam Kementerian Pendidikan Nasional dan secara relatif menjadi
dekat dengan pimpinan Aljazair. Namun di tahun 1967, ia dipecat dari jabatan
tersebut tanpa alasan yang jelas. Bin Nabi kemudian melanjutkan aktivitas
menulis untuk menyebarkan gagasan-gagasannya di kalangan generasi muda Aljazair.
Ia menjadikan rumahnya sebagai tempat pertemuan, sebagai wacana intelektual dan
saling tukar gagasan. Dua tahun setelah menunaikan ibadah haji di tahun 1971,
Bin Nabi meninggal dunia di Aljazair tanggal 31 Oktober 1973. Hari kematiannya
secara resmi dianggap sebagai hari berkabung di Aljazair dan Libya sebagai
bentuk apresiasi kiprah intelektual selama hidupnya.[6]
2. Karya-Karya Malik Bin Nabi
Karya-karya Malik Bin Nabi mencapai 18 buku yang ditulis
dalam bahasa Perancis dan Arab. Di antara karya-karyanya yang terpenting adalah
al-Zahirah al-Qur’aniyah (Fenomena
al-Qur’an) tahun 1961; Wijhah
al-Asiawiyyah (Pemikiran Asia-Afrika) tahun 1956; Musykilah al-Thaqafah (Problem Budaya) tahun 1959; Syurut al-Nahdhah (Syarat-Syarat Kebangkitan)
tahun 1960; Milad Mujtama’ (Kelahiran
Masyarakat) tahun 1962; Mudhakkirat
Syahid li al-Qarn (Catatan harian Seorang Saksi Sebuah Zaman) tahun 1966; Musykilat al-Afkar (Problem Pemikiran)
tahun 1970; Fikrah Komonweth al-Islamy
(Pemikiran Persemakmuran Islam) tahun 1971; dan Muslim fi Alam al-Iqtishad (Muslim dalam Dunia Ekonomi) tahun 1972.[7]
Di antara karya-karya Malik Bin Nabi di atas, terdapat
karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Membangun Dunia Baru Islam. Isi dari
buku ini merupakan gabungan dari dua buku yang berjudul Syurut al-Nahdhah yang diletakkan pada bagian pertama buku tersebut
dengan judul “Unsur-Unsur Peradaban” dan Musykilat
al-Afkar fi al-Alam al-Islamy yang diletakkan dalam bagian kedua dengan
judul “Problem Pemikiran di Dunia Islam”. Secara garis besar buku Membangun Dunia Baru Islam yang
diterjemahkan dari karya Malik bin Nabi tersebut membahas mengenai perlunya
kaum Muslim bangkit dari keterbelakangan akibat penjajahan untuk membangun
peradaban barunya. Untuk mencapai hal itu, Bin Nabi mengajukan formula
sederhana, yaitu kaum Muslim harus kembali ke pangkalnya seraya mengambil
nilai-nilai yang baik dari luar.[8]
3. Pemikiran Filsafat Sejarah Malik Bin Nabi
a. Konsep Peradaban Malik Bin Nabi
Peradaban dalam pandangan Malik Bin Nabi bukan sekedar
kemajuan ekonomi, politik, dan teknologi. Peradaban adalah produk unsur-unsur
dinamik, integral, dan konkret. Di antara unsur-unsur yang paling krusial
adalah moral. Adanya disintegrasi sistem moral atau kemunduran dalam skala
nilai akan menghadapkan suatu masyarakat pada berbagai masalah.
Lebih jauh, Bin Nabi menganggap peradaban sebagai hasil
suatu gagasan dinamis yang hidup yang memobilisasi pra-peradaban masuk ke dalam
sejarah dan membentuk sistem gagasan sesuai dengan pola-polanya. Kemudian
masyarakat mengembangkan suatu lingkungan budaya yang otentik yang pada
gilirannya mengontrol semua karakter yang membedakan masyarakat tersebut dari
budaya dan peradaban lainnya. Bin Nabi meyakini bahwa masyarakat dan lingkungan
memberikan sifat-sifat khasnya kepada peradaban. Oleh karena itu, setiap siklus
peradaban memiliki kondisi-kondisi psiko-temporal tertentu yang penting bagi
masyarakat tertentu, yaitu peradaban dengan kondisi-kondisi itu.[9]
b. Konsep Tiga Tangga Peradaban
Sekalipun Malik Bin Nabi dipengaruhi oleh Muqadimah karya Ibnu Khaldun, namun
perhatiannya terhadap sejarah Islam modern berkembang dari
pandangan-pandangannya sendiri yang kontemplatif. Dalam karyanya yang berjudul Syurut al-Nahdhah, Bin Nabi menekankan
gagasan bahwa setiap peradaban harus melalui tiga tangga, yaitu kelahiran (milad), puncak (awj), dan keruntuhan (uful).[10]
Seperti Ibnu Khaldun, Bin Nabi berupaya
menginterpretasikan sejarah Islam secara umum dalam perspektif teori siklus.
Namun Bin Nabi tidak menggunakan gagasan Ibnu Khaldun yang menegaskan bahwa
kesatuan suku Badui (ashabiyah), mengantarkan
pada terbentuknya suatu negara yang berpindah-pindah (istiqrar) akan menghasilkan kejayaan (sharaf) dan berakhir dengan kehancuran (inhiyar).[11]
Sebagai gantinya, ia menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun dan mengembangkan
skematisasi tiga tangga peradaban sebagai berikut:
Pertama, tangga spiritual. Ketika manusia berada
pada tangga fitrah, menurut Bin Nabi, mereka diarahkan oleh insting alaminya.
Ketika gagasan spiritual muncul, maka gagasan itu menundukkan dan menekan
insting mereka. Ini tidak berarti insting dihilangkan, tetapi dituntun pada
suatu hubungan fungsional terhadap agama.
Kedua, tangga rasional. Sebagai masyarakat yang
terus menjalankan prinsip-prinsip keagamaannya dan mengintegrasikan ikatan
ikatan internalnya, agama akan tersebar ke pelosok dunia. Bagi Bin Nabi, peradaban
Islam sebagai daya dorong, dari kedalaman jiwa, menyebar secara horizontal di
dunia, dari pantai Atlantik sampai perbatasan Cina.
Ketiga, tangga naluri. Periode ini ditandai dengan
kelemahan dan kekacauan. Kekacauan semacam itu tidak terhindarkan karena naluri
menjadi bebas. Bagi Bin Nabi, akal kehilangan fungsi sosialnya karena manusia
kehilangan tensi keimanannya. Masyarakat akan masuk masa gelap sejarah sebagai
siklus peradaban juga berakhir.[12]
c. Unsur-Unsur Peradaban
Dalam menganalisis unsur-unsur peradaban, Bin Nabi menyebut
tiga unsur penting, yaitu insan
(manusia), turab (tanah), dan waqt (waktu). Pemilihan istilah turab (tanah) sebagai ganti kata maddah (materi) dengan sengaja dan
hati-hati dilakukan Bin Nabi. Ia ingin memfokuskan pada makna
sosiologis-politik tanah dalam bentuk bumi yang mengimplikasikan pemilikan,
menuntut kontrol teknis dan memberikan jaminan dan keamanan sosial.
Manusia + Tanah +
Waktu = Peradaban |
Bin Nabi dalam teorinya tentang peradaban menempatkan
manusia pada posisi sentral. Ia adalah alat utama masyarakat. Jika ia bergerak,
masyarakat dan sejarah juga bergerak; sebaliknya jika ia berhenti, masyarakat
dan sejarah juga berhenti. Tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin dalam
konteks ini adalah bagaimana melahirkan orang-orang yang mampu memanfaatkan,
tanah, waktu, dan kreativitas mereka sendiri untuk mencapai tujuan mereka yang
besar dalam sejarah.[13]
d. Agama Sebagai Faktor Penting Peradaban
Gagasan agama sebagai alat penting dalam pembentukan
peradaban dikemukakan serius oleh Bin Nabi. Baginya, ideologi keagamaan adalah
katalisator peradaban karena agama dapat menstimulir spirit untuk menempatkan status quo. Agama adalah salah satu
prasyarat bagi semua peradaban, suatu unsur yang diasimilasi oleh masyarakat
sebelum siklus peradaban dimulai. Agama merupakan prasyarat naiknya suatu
peradaban.
Agama menjadi katalisator yang memberikan kepada manusia,
di samping waktu dan tanah, tanda dimulainya siklus peradaban. Agama merupakan
katalisator bagi ketiga unsur tersebut (manusia, tanah, waktu). Agama dapat
mengkatalisasi nilai-nilai sosial yang ia gambarkan ke dalam gagasan kolektif
yang lebih efektif. Tetapi, ketika agama menjadi keyakinan yang tumpul tanpa
cahaya, maka misi historisnya di bumi akan berakhir. Agama tak lagi dapat
mendorong suatu peradaban karena telah menjadi keimanan para pertapa yang
menarik diri dari kehidupan dan melepaskan kewajiban dan tanggung jawabnya.[14]
e. Masyarakat Sebagai Organisme
Bin Nabi mengembangkan teorinya tentang tiga masa yang
berkesimpulan bahwa individu dan masyarakat berkembang atau matang melalui tiga
tangga atau masa, yaitu:
Pertama, masa benda. Menurut Bin Nabi, manusia baru
lahir tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang dunia luar. Ia tidak dapat
memahami benda-benda, tokoh-tokoh, dan gagasan-gagasan yang berinteraksi di
sekitarnya.
Kedua, masa tokoh. Anak mulai berkomunikasi pertama-tama
dengan orang di sekitarnya dengan menganggap dan mengaitkan dengan ibunya,
kemudian anggota keluarga lainnya. Pada tahap ini menuurt Bin Nabi, ia mulai
mengembangkan hubungan-hubungan sosial dan emosional dengan yang lainnya.
Ketiga, masa ide. Setelah anak mulai matang, sedikit
demi sedikit mampu memasuki tangga kognitif dan mengapresiasi konsep-konsep
abstrak. Pada masa ini, Bin Nabi berpendirian anak membangun dunia idenya dan
mengembangkan kemampuan untuk membuat perbedaan-perbedaan kultural dan
ideologis.[15]
Di samping itu, Bin Nabi mangklasifikasikan masyarakat
manusia ke dalam tiga kategori yang bergantung pada tingkat perkembangan
mereka, yaitu:
Pertama, masyarakat pra-peradaban adalah masyarakat
yang memiliki pandangan terhadap benda, pribadi dan gagasan yang belum matang. Kedua, masyarakat berperadaban adalah
masyarakat yang berawal dari interaksi secara efektif dengan sejarah karena
munculnya suatu gagasan. Ketiga,
masyarakat pasca-peradaban adalah masyarakat yang ditimpa kemunduran akibat kebekuan
gagasan.[16]
f. Sebab-Sebab Kegagalan Peradaban
Dalam kaitannya dengan keruntuhan masyarakat Muslim, Bin
Nabi mengkalsifikasikan sejarahnya ke dalam tiga tangga, yaitu tangga pertama
ditandai dengan berabad-abad ketiduran yang panjang; tangga kedua ditandai
dengan kebangunan dan perolehan kembali kesadaran; dan tangga ketiga ditandai
dengan kekacauan dan goyangan. Tangga pertama mewujudkan apa yang ia
identifikasi sebagai ‘keibuan’ (maternal
phase). Sementara kedua dan ketiga menggambarkan fase-fase pra-sosial dan
sosial.
Menurut Bin Nabi, sebab-sebab kaum muslimin mengalami
kemunduran karena mereka tengah mengalami kebodohan atau miskin dengan dunia
pemikiran. Kreasi berpikir tidak mengimbangi kemajuan sosial, produktivitas
materi terhimpit oleh derasnya propaganda Barat yang mengakibatkan kaum
Muslimin menjadi konsumtif belaka.[17]
C.
Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam pemaparan di
atas mengenai pemikiran filsafat sejarah Malik Bin Nabi antara lain sebagai
berikut:
1.
Peradaban dalam pandangan Malik Bin Nabi bukan sekedar kemajuan ekonomi,
politik, dan teknologi. Peradaban adalah produk unsur-unsur dinamik, integral,
dan konkret. Di antara unsur-unsur yang paling krusial adalah moral. Adanya
disintegrasi sistem moral atau kemunduran dalam skala nilai akan menghadapkan
suatu masyarakat pada berbagai masalah.
2.
Bin Nabi menekankan gagasan bahwa setiap peradaban harus melalui tiga
tangga, yaitu kelahiran (milad),
puncak (awj), dan keruntuhan (uful). Pada saat yang sama, ia pun
berusaha menginterpretasikan sejarah Islam secara umum dalam perspektif “teori
siklus”.
3.
Malik Bin Nabi melakukan skematisasi tiga tangga peradaban, yaitu tangga
spiritual, tangga rasional, dan tangga naluri.
4.
Agama adalah katalisator peradaban karena dapat menstimulir spirit untuk
menempatkan masyarakat di atas status quo.
Agama adalah salah satu prasyarat bagi semua peradaban, suatu unsur yang
diasimilasi oleh masyarakat sebelum siklus peradaban dimulai. Dengan demikian, agama
merupakan prasyarat naiknya suatu peradaban.
5.
Sejarah keruntuhan masyarakat muslim diklasifikasi ke dalam tiga tangga
pula. Tangga pertama ditandai dengan abad-abad ketiduran yang panjang; kedua,
ditandai dengan kebangunan dan perolehan kembali kesadaran; dan ketiga,
ditandai dengan kekacauan dan goncangan.
D.
Daftar Sumber
Arif,
Mohammad. 2008. Pemikiran Malik Bin Nabi
Tentang Sejarah. Yogyakarta: Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas
Ushuludin UIN Sunan Kalijaga. Tidak diterbitkan.
Daliman,
A. 2012. Pengantar Filsafat Sejarah. Yogyakarta:
Ombak.
Hasan,
Usman. 1986. Metodologi Penelitian
Sejarah, terj. Muin Umar. Jakarta: Departemen Agama.
Nabi,
Malik Bin. 1994. Membangun Dunia Baru
Islam. Bandung: Mizan.
Sudrajat,
Ajat. 2009. Sejarah dan Peradaban: Sketsa
Pemikiran Malik Bin Nabi. Yogyakarta: Jurnal pada Prodi Ilmu Sejarah FISE
Universitas Negeri Yogyakarta.
Alatas,
Alwi. “Konsep Peradaban: Sumbangan Pemikiran Malik Bin Nabi (1905-1973)”, http://alwialatas.multiply.com/jounal/item/73 diakses tanggal 11 Oktober 2016 pada pukul
08.42 WIB.
Husnan,
Usman S. ”Islam Peradaban Malik Bin Nabi”, http://swaramuslim.net/-islam/more.php?id=A1395_0_4_0_M diakses tanggal 11 Oktober pada pukul 08.28
WIB.
[1] A. Daliman, Pengantar Filsafat
Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 1-2.
[2] A. Daliman, Pengantar Filsafat
Sejarah, hlm. 3-5.
[3] Usman Hasan, Metodologi
Penelitian Sejarah, terj. Muin Umar, (Jakarta: Departemen Agama, 1986),
hlm. 7-10.
[4] Malik Bin Nabi, Membangun Dunia
Baru Islam, terj. Afif Muhammad dan Abdul Adhiem, (Bandung, Mizan, 1994),
hlm. 85-89.
[5] Ajat Sudrajat, Sejarah dan
Peradaban: Sketsa Pemikiran Malik Bin Nabi, (Yogyakarta: Jurnal pada Prodi
Ilmu Sejarah FISE UNY, 2009), hlm. 2-3. Lihat pula Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 5-6.
[6] Ajat Sudrajat, Sejarah dan
Peradaban: Sketsa Pemikiran Malik Bin Nabi, (Yogyakarta: Jurnal pada Prodi
Ilmu Sejarah FISE UNY, 2009), hlm. 3-4. Lihat pula Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 40-42.
[7] Ajat Sudrajat, Sejarah dan
Peradaban..., hlm. 6.
[8] Ajat Sudrajat, Sejarah dan
Peradaban..., hlm. 6. Lihat pula Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 5-6.
[9] Ajat Sudrajat, Sejarah dan
Peradaban..., hlm. 4-6.
[10] Malik Bin Nabi, Membangun
Dunia..., hlm. 81.
[11] Usman S. Husnan, ”Islam Peradaban Malik Bin Nabi”, http://swaramuslim.net/-islam/more.php?id=A1395_0_4_0_M diakses tanggal 11 Oktober pada pukul 08.28 WIB.
[12] Mohammad Arif, Pemikiran Malik
Bin Nabi Tentang Sejarah, (Yogyakarta: Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat
Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 7-8. Lihat pula Malik Bin
Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 85-89.
[13] Malik Bin Nabi, Membangun
Dunia..., hlm. Lihat pula 130-137. Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban..., hlm. 9-10.
[14] Malik Bin Nabi, Membangun
Dunia..., hlm. 85-90. Ajat Sudrajat, Sejarah
dan Peradaban..., hlm. 10-11.
[15] Ajat Sudrajat, Sejarah dan
Peradaban..., hlm. 11-12.
[16] Alwi Alatas, “Konsep Peradaban: Sumbangan Pemikiran Malik Bin Nabi
(1905-1973)”, http://alwialatas.multiply.com/jounal/item/73 diakses tanggal 11 Oktober 2016 pada pukul 08.42 WIB.
[17] Ajat Sudrajat, Sejarah dan
Peradaban..., hlm. 14-15. Lihat pula malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 247-249.
Tidak ada komentar untuk "BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH MALIK BIN NABI"
Posting Komentar