BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH MALIK BIN NABI

 




BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH MALIK BIN NABI

Oleh

Muhamad Sidik, S.Hum.


A.           Pendahuluan

Dalam merekonstruksi peristiwa di masa lalu diperlukan pisau analisis berupa teori-teori sejarah dan pendekatan-pendekatan termasuk juga filsafat sejarah. Istilah filsafat sejarah sendiri mula-mula digunakan oleh Voltaire dalam pengantar bukunya yang berjudul Philosophie de I’Historie yang berarti filsafat sejarah. Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis Voltaire dalam rentang tahun 1753-1758 yang banyak mengulas pemikirannya tentang sejarah. Sejak itulah istilah filsafat sejarah mulai dikenal secara luas oleh masyarakat.[1]

Zainab El-Hudhairi mendefinisikan filsafat sejarah sebagai tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa sejarah secara filosofis untuk mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan historis itu yang kemudian mengikhtisarkan hukum-hukum umum yang tetap dan mengarahkan pada perkembangan berbagai bangsa dan negara dalam berbagai masa dan generasi. Sementara Rustam E. Tamburaka mendefiniskan filsafat sejarah sebagai ilmu filsafat yang ingin memberi jawaban atas sebab dan alasan segala peristiwa sejarah.[2] Dengan demikian, filsafat sejarah dapat diartikan sebagai pemikiran yang mendalam dan komperehensif untuk melakukan kajian studi dunia sejarah untuk menemukan postulat (dalil) dan argumentasi yang rasional baik mengenai peristiwa, pelaku, gerak, irama, dan dinamika sebagai hal yang menyangkut dunia sejarah.

Dalam sejarah perkembangannya, filsafat sejarah di Barat mengalami perkembangan yang menakjubkan yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir besar di bidang sejarah. Para pemikir itu antara lain St. Agustinus (1354-1430) yang terkenal dengan paham Sejarah Teologis; August Comte (1798-1854) dengan filsafat positivisme Hukum Tiga Tahapnya; Herbert Spencer dengan teori evolusi – di samping yang dikembangkan Darwin; Oswald Spengler (1880-1936) yang terkenal dengan teori Daur Kultur Sejarah-nya; G.W.F. Hegel (1770-1831) yang terkenal dengan filsafat sejarah spekulatif, filsafat sejarah formal dan material; Karl Marx (1818-1883) dengan Materialisme Historis-nya; hingga Arnold J. Toynbee (1889-1975) dengan teorinya tentang Tantangan dan Jawaban (Challenge and Response).[3]

Sementara itu, perkembangan pemikiran tentang filsafat sejarah di dunia Islam tak semaju di dunia Barat. Meskipun begitu, bukan berarti perdebatan filsafat sejarah di dunia Islam mati. Sebagai bukti, Ibnu Khaldun adalah seorang filosof Islam terkemuka di dunia Islam yang membahas tentang filsafat sejarah. Karyanya yang berjudul Muqadimah  merupakan karya yang banyak menguraikan tentang filsafat sejarah dengan teorinya “The Culture Cycle Theory of History”. Ibnu Khadun berpendapat bahwa sejarah dunia itu adalah siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban yang mengalami masa lahir, berkembang, puncak, kemudian kemunduran dan akhirnya lenyap atau hancur.

Di samping Ibnu Khaldun, pemikir Islam lain yang memusatkan perhatiannya tentang filsafat sejarah, diantaranya adalah Malik Bin Nabi. Dalam bukunya Membangun Dunia Baru Islam, Malik Bin Nabi banyak mengupas tentang sejarah. Ia mendasarkan teori filsafat sejarahnya kepada pemikirannya tentang peradaban. Menurutnya, peradaban adalah keseluruhan sarana moral dan material yang menjadikan masyarakat memberikan semua pelayanan sosial yang diperlukan setiap anggotanya untuk kemajuan. Sebagaimana Ibnu Khaldun, Malik Bin Nabi menginterpretasi sejarah Islam secara umum dalam perspektif teori siklus. Ia menguraikan pemikirannya dalam wujud tiga tangga peradaban, yaitu tangga spiritual, tangga rasional, dan tangga naluri.[4] Pemikiran filsafat sejarah Malik Bin Nabi inilah yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.


B.            Pembahasan
1.    Biografi Malik Bin Nabi

Malik Bin Nabi lahir di kota Kosnstantin, Aljazair tanggal 1 Desember 1905. Ia merupakan satu-satunya anak laki-laki dari lima bersaudara. Bin Nabi di usia kecilnya memasuki sebuah sekolah al-Qur’an (kuttab). Pada tahun 1921, Bin Nabi masuk ke Madrasah Kosntantin, suatu sekolah yang didirikan untuk mencetak suatu kelas birokrat yang pengajarannya diberikan dalam bahasa Arab dan Perancis. Selama periode ini, ia juga bergabung dengan Majelis Pengajaran di Masjid Agung Kosntantin untuk belajar bahasa Arab dari Syeikh Abdul Majid.

Saat berusia 20 tahun, ia berangkat ke Perancis dan bekerja pada sejumlah pekerjaan. Tahun 1927, ia kembali ke Aljazair dan bekerja sebagai asisten anggota pengadilan yang kemudian tahun 1930 kembali lagi ke Perancis untuk melanjutkan pendidikannya. Selanjutnya ia menikah tahun 1931 dengan seorang wanita Perancis dan bergabung dengan kelompok mahasiswa Arab dalam rangka asosiasi rahasia. Bin Nabi harus meninggalkan Perancis dan pergi ke Mesir tahun 1956 sebagai pengungsi politik yang kemudian tinggal di Kairo. Di sana Bin nabi memperlihatkan komitmennya terhadap usaha kemerdekaan negaranya. Ia baru pulang ke Aljazair tahun 1963, satu tahun setelah kemerdekaan Aljazair tahun 1962. Selanjutnya Bin Nabi melanjutkan kegiatan manulis dalam berbagai surat kabar dan menerjemahkan tulisannya ke dalam bahasa Arab. Selama kembali ke Aljazair ini ia memusatkan perhatiannya pada analisis terhadap terhadap isu tentang kevakuman ideologis setelah kemerdekaan dicapai.[5]

Pada tahun 1965, Bin Nabi diangkat sebagai Direktur Kajian Tinggi dalam Kementerian Pendidikan Nasional dan secara relatif menjadi dekat dengan pimpinan Aljazair. Namun di tahun 1967, ia dipecat dari jabatan tersebut tanpa alasan yang jelas. Bin Nabi kemudian melanjutkan aktivitas menulis untuk menyebarkan gagasan-gagasannya di kalangan generasi muda Aljazair. Ia menjadikan rumahnya sebagai tempat pertemuan, sebagai wacana intelektual dan saling tukar gagasan. Dua tahun setelah menunaikan ibadah haji di tahun 1971, Bin Nabi meninggal dunia di Aljazair tanggal 31 Oktober 1973. Hari kematiannya secara resmi dianggap sebagai hari berkabung di Aljazair dan Libya sebagai bentuk apresiasi kiprah intelektual selama hidupnya.[6]

2.    Karya-Karya Malik Bin Nabi

Karya-karya Malik Bin Nabi mencapai 18 buku yang ditulis dalam bahasa Perancis dan Arab. Di antara karya-karyanya yang terpenting adalah al-Zahirah al-Qur’aniyah (Fenomena al-Qur’an) tahun 1961; Wijhah al-Asiawiyyah (Pemikiran Asia-Afrika) tahun 1956; Musykilah al-Thaqafah (Problem Budaya) tahun 1959; Syurut al-Nahdhah (Syarat-Syarat Kebangkitan) tahun 1960; Milad Mujtama’ (Kelahiran Masyarakat) tahun 1962; Mudhakkirat Syahid li al-Qarn (Catatan harian Seorang Saksi Sebuah Zaman) tahun 1966; Musykilat al-Afkar (Problem Pemikiran) tahun 1970; Fikrah Komonweth al-Islamy (Pemikiran Persemakmuran Islam) tahun 1971; dan Muslim fi Alam al-Iqtishad (Muslim dalam Dunia Ekonomi) tahun 1972.[7]

Di antara karya-karya Malik Bin Nabi di atas, terdapat karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Membangun Dunia Baru Islam. Isi dari buku ini merupakan gabungan dari dua buku yang berjudul Syurut al-Nahdhah yang diletakkan pada bagian pertama buku tersebut dengan judul “Unsur-Unsur Peradaban” dan Musykilat al-Afkar fi al-Alam al-Islamy yang diletakkan dalam bagian kedua dengan judul “Problem Pemikiran di Dunia Islam”. Secara garis besar buku Membangun Dunia Baru Islam yang diterjemahkan dari karya Malik bin Nabi tersebut membahas mengenai perlunya kaum Muslim bangkit dari keterbelakangan akibat penjajahan untuk membangun peradaban barunya. Untuk mencapai hal itu, Bin Nabi mengajukan formula sederhana, yaitu kaum Muslim harus kembali ke pangkalnya seraya mengambil nilai-nilai yang baik dari luar.[8]


3.    Pemikiran Filsafat Sejarah Malik Bin Nabi

a.    Konsep Peradaban Malik Bin Nabi

Peradaban dalam pandangan Malik Bin Nabi bukan sekedar kemajuan ekonomi, politik, dan teknologi. Peradaban adalah produk unsur-unsur dinamik, integral, dan konkret. Di antara unsur-unsur yang paling krusial adalah moral. Adanya disintegrasi sistem moral atau kemunduran dalam skala nilai akan menghadapkan suatu masyarakat pada berbagai masalah.

Lebih jauh, Bin Nabi menganggap peradaban sebagai hasil suatu gagasan dinamis yang hidup yang memobilisasi pra-peradaban masuk ke dalam sejarah dan membentuk sistem gagasan sesuai dengan pola-polanya. Kemudian masyarakat mengembangkan suatu lingkungan budaya yang otentik yang pada gilirannya mengontrol semua karakter yang membedakan masyarakat tersebut dari budaya dan peradaban lainnya. Bin Nabi meyakini bahwa masyarakat dan lingkungan memberikan sifat-sifat khasnya kepada peradaban. Oleh karena itu, setiap siklus peradaban memiliki kondisi-kondisi psiko-temporal tertentu yang penting bagi masyarakat tertentu, yaitu peradaban dengan kondisi-kondisi itu.[9]

b.   Konsep Tiga Tangga Peradaban

Sekalipun Malik Bin Nabi dipengaruhi oleh Muqadimah karya Ibnu Khaldun, namun perhatiannya terhadap sejarah Islam modern berkembang dari pandangan-pandangannya sendiri yang kontemplatif. Dalam karyanya yang berjudul Syurut al-Nahdhah, Bin Nabi menekankan gagasan bahwa setiap peradaban harus melalui tiga tangga, yaitu kelahiran (milad), puncak (awj), dan keruntuhan (uful).[10]

Seperti Ibnu Khaldun, Bin Nabi berupaya menginterpretasikan sejarah Islam secara umum dalam perspektif teori siklus. Namun Bin Nabi tidak menggunakan gagasan Ibnu Khaldun yang menegaskan bahwa kesatuan suku Badui (ashabiyah), mengantarkan pada terbentuknya suatu negara yang berpindah-pindah (istiqrar) akan menghasilkan kejayaan (sharaf) dan berakhir dengan kehancuran (inhiyar).[11] Sebagai gantinya, ia menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun dan mengembangkan skematisasi tiga tangga peradaban sebagai berikut:

Pertama, tangga spiritual. Ketika manusia berada pada tangga fitrah, menurut Bin Nabi, mereka diarahkan oleh insting alaminya. Ketika gagasan spiritual muncul, maka gagasan itu menundukkan dan menekan insting mereka. Ini tidak berarti insting dihilangkan, tetapi dituntun pada suatu hubungan fungsional terhadap agama.

Kedua, tangga rasional. Sebagai masyarakat yang terus menjalankan prinsip-prinsip keagamaannya dan mengintegrasikan ikatan ikatan internalnya, agama akan tersebar ke pelosok dunia. Bagi Bin Nabi, peradaban Islam sebagai daya dorong, dari kedalaman jiwa, menyebar secara horizontal di dunia, dari pantai Atlantik sampai perbatasan Cina.

Ketiga, tangga naluri. Periode ini ditandai dengan kelemahan dan kekacauan. Kekacauan semacam itu tidak terhindarkan karena naluri menjadi bebas. Bagi Bin Nabi, akal kehilangan fungsi sosialnya karena manusia kehilangan tensi keimanannya. Masyarakat akan masuk masa gelap sejarah sebagai siklus peradaban juga berakhir.[12]

c.    Unsur-Unsur Peradaban

Dalam menganalisis unsur-unsur peradaban, Bin Nabi menyebut tiga unsur penting, yaitu insan (manusia), turab (tanah), dan waqt (waktu). Pemilihan istilah turab (tanah) sebagai ganti kata maddah (materi) dengan sengaja dan hati-hati dilakukan Bin Nabi. Ia ingin memfokuskan pada makna sosiologis-politik tanah dalam bentuk bumi yang mengimplikasikan pemilikan, menuntut kontrol teknis dan memberikan jaminan dan keamanan sosial.

Manusia + Tanah + Waktu = Peradaban

Bin Nabi dalam teorinya tentang peradaban menempatkan manusia pada posisi sentral. Ia adalah alat utama masyarakat. Jika ia bergerak, masyarakat dan sejarah juga bergerak; sebaliknya jika ia berhenti, masyarakat dan sejarah juga berhenti. Tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin dalam konteks ini adalah bagaimana melahirkan orang-orang yang mampu memanfaatkan, tanah, waktu, dan kreativitas mereka sendiri untuk mencapai tujuan mereka yang besar dalam sejarah.[13]

d.      Agama Sebagai Faktor Penting Peradaban

Gagasan agama sebagai alat penting dalam pembentukan peradaban dikemukakan serius oleh Bin Nabi. Baginya, ideologi keagamaan adalah katalisator peradaban karena agama dapat menstimulir spirit untuk menempatkan status quo. Agama adalah salah satu prasyarat bagi semua peradaban, suatu unsur yang diasimilasi oleh masyarakat sebelum siklus peradaban dimulai. Agama merupakan prasyarat naiknya suatu peradaban.

Agama menjadi katalisator yang memberikan kepada manusia, di samping waktu dan tanah, tanda dimulainya siklus peradaban. Agama merupakan katalisator bagi ketiga unsur tersebut (manusia, tanah, waktu). Agama dapat mengkatalisasi nilai-nilai sosial yang ia gambarkan ke dalam gagasan kolektif yang lebih efektif. Tetapi, ketika agama menjadi keyakinan yang tumpul tanpa cahaya, maka misi historisnya di bumi akan berakhir. Agama tak lagi dapat mendorong suatu peradaban karena telah menjadi keimanan para pertapa yang menarik diri dari kehidupan dan melepaskan kewajiban dan tanggung jawabnya.[14]

e.    Masyarakat Sebagai Organisme

Bin Nabi mengembangkan teorinya tentang tiga masa yang berkesimpulan bahwa individu dan masyarakat berkembang atau matang melalui tiga tangga atau masa, yaitu:

Pertama, masa benda. Menurut Bin Nabi, manusia baru lahir tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang dunia luar. Ia tidak dapat memahami benda-benda, tokoh-tokoh, dan gagasan-gagasan yang berinteraksi di sekitarnya.

Kedua, masa tokoh. Anak mulai berkomunikasi pertama-tama dengan orang di sekitarnya dengan menganggap dan mengaitkan dengan ibunya, kemudian anggota keluarga lainnya. Pada tahap ini menuurt Bin Nabi, ia mulai mengembangkan hubungan-hubungan sosial dan emosional dengan yang lainnya.

Ketiga, masa ide. Setelah anak mulai matang, sedikit demi sedikit mampu memasuki tangga kognitif dan mengapresiasi konsep-konsep abstrak. Pada masa ini, Bin Nabi berpendirian anak membangun dunia idenya dan mengembangkan kemampuan untuk membuat perbedaan-perbedaan kultural dan ideologis.[15]

Di samping itu, Bin Nabi mangklasifikasikan masyarakat manusia ke dalam tiga kategori yang bergantung pada tingkat perkembangan mereka, yaitu:

Pertama, masyarakat pra-peradaban adalah masyarakat yang memiliki pandangan terhadap benda, pribadi dan gagasan yang belum matang. Kedua, masyarakat berperadaban adalah masyarakat yang berawal dari interaksi secara efektif dengan sejarah karena munculnya suatu gagasan. Ketiga, masyarakat pasca-peradaban adalah masyarakat yang ditimpa kemunduran akibat kebekuan gagasan.[16]

f.     Sebab-Sebab Kegagalan Peradaban

Dalam kaitannya dengan keruntuhan masyarakat Muslim, Bin Nabi mengkalsifikasikan sejarahnya ke dalam tiga tangga, yaitu tangga pertama ditandai dengan berabad-abad ketiduran yang panjang; tangga kedua ditandai dengan kebangunan dan perolehan kembali kesadaran; dan tangga ketiga ditandai dengan kekacauan dan goyangan. Tangga pertama mewujudkan apa yang ia identifikasi sebagai ‘keibuan’ (maternal phase). Sementara kedua dan ketiga menggambarkan fase-fase pra-sosial dan sosial.

Menurut Bin Nabi, sebab-sebab kaum muslimin mengalami kemunduran karena mereka tengah mengalami kebodohan atau miskin dengan dunia pemikiran. Kreasi berpikir tidak mengimbangi kemajuan sosial, produktivitas materi terhimpit oleh derasnya propaganda Barat yang mengakibatkan kaum Muslimin menjadi konsumtif belaka.[17]

C.           Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam pemaparan di atas mengenai pemikiran filsafat sejarah Malik Bin Nabi antara lain sebagai berikut:

1.    Peradaban dalam pandangan Malik Bin Nabi bukan sekedar kemajuan ekonomi, politik, dan teknologi. Peradaban adalah produk unsur-unsur dinamik, integral, dan konkret. Di antara unsur-unsur yang paling krusial adalah moral. Adanya disintegrasi sistem moral atau kemunduran dalam skala nilai akan menghadapkan suatu masyarakat pada berbagai masalah.

2.    Bin Nabi menekankan gagasan bahwa setiap peradaban harus melalui tiga tangga, yaitu kelahiran (milad), puncak (awj), dan keruntuhan (uful). Pada saat yang sama, ia pun berusaha menginterpretasikan sejarah Islam secara umum dalam perspektif “teori siklus”.

3.    Malik Bin Nabi melakukan skematisasi tiga tangga peradaban, yaitu tangga spiritual, tangga rasional, dan tangga naluri.

4.    Agama adalah katalisator peradaban karena dapat menstimulir spirit untuk menempatkan masyarakat di atas status quo. Agama adalah salah satu prasyarat bagi semua peradaban, suatu unsur yang diasimilasi oleh masyarakat sebelum siklus peradaban dimulai. Dengan demikian, agama merupakan prasyarat naiknya suatu peradaban.

5.    Sejarah keruntuhan masyarakat muslim diklasifikasi ke dalam tiga tangga pula. Tangga pertama ditandai dengan abad-abad ketiduran yang panjang; kedua, ditandai dengan kebangunan dan perolehan kembali kesadaran; dan ketiga, ditandai dengan kekacauan dan goncangan.


 

D.           Daftar Sumber

Arif, Mohammad. 2008. Pemikiran Malik Bin Nabi Tentang Sejarah. Yogyakarta: Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga. Tidak diterbitkan.

Daliman, A. 2012. Pengantar Filsafat Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Hasan, Usman. 1986. Metodologi Penelitian Sejarah, terj. Muin Umar. Jakarta: Departemen Agama.

Nabi, Malik Bin. 1994. Membangun Dunia Baru Islam. Bandung: Mizan.

Sudrajat, Ajat. 2009. Sejarah dan Peradaban: Sketsa Pemikiran Malik Bin Nabi. Yogyakarta: Jurnal pada Prodi Ilmu Sejarah FISE Universitas Negeri Yogyakarta.

Alatas, Alwi. “Konsep Peradaban: Sumbangan Pemikiran Malik Bin Nabi (1905-1973)”, http://alwialatas.multiply.com/jounal/item/73 diakses tanggal 11 Oktober 2016 pada pukul 08.42 WIB.

Husnan, Usman S. ”Islam Peradaban Malik Bin Nabi”, http://swaramuslim.net/-islam/more.php?id=A1395_0_4_0_M diakses tanggal 11 Oktober pada pukul 08.28 WIB.

 

 



[1] A. Daliman, Pengantar Filsafat Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 1-2.

[2] A. Daliman, Pengantar Filsafat Sejarah, hlm. 3-5.

[3] Usman Hasan, Metodologi Penelitian Sejarah, terj. Muin Umar, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 7-10.

[4] Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, terj. Afif Muhammad dan Abdul Adhiem, (Bandung, Mizan, 1994), hlm. 85-89.

[5] Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban: Sketsa Pemikiran Malik Bin Nabi, (Yogyakarta: Jurnal pada Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY, 2009), hlm. 2-3. Lihat pula Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 5-6.

[6] Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban: Sketsa Pemikiran Malik Bin Nabi, (Yogyakarta: Jurnal pada Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY, 2009), hlm. 3-4. Lihat pula Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 40-42.

[7] Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban..., hlm. 6.

[8] Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban..., hlm. 6. Lihat pula Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 5-6.

[9] Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban..., hlm. 4-6.

[10] Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 81.

[11] Usman S. Husnan, ”Islam Peradaban Malik Bin Nabi”, http://swaramuslim.net/-islam/more.php?id=A1395_0_4_0_M diakses tanggal 11 Oktober pada pukul 08.28 WIB.

[12] Mohammad Arif, Pemikiran Malik Bin Nabi Tentang Sejarah, (Yogyakarta: Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 7-8. Lihat pula Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 85-89.

[13] Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. Lihat pula 130-137. Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban..., hlm. 9-10.

[14] Malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 85-90. Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban..., hlm. 10-11.

[15] Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban..., hlm. 11-12.

[16] Alwi Alatas, “Konsep Peradaban: Sumbangan Pemikiran Malik Bin Nabi (1905-1973)”, http://alwialatas.multiply.com/jounal/item/73 diakses tanggal 11 Oktober 2016 pada pukul 08.42 WIB.

[17] Ajat Sudrajat, Sejarah dan Peradaban..., hlm. 14-15. Lihat pula malik Bin Nabi, Membangun Dunia..., hlm. 247-249.

Tidak ada komentar untuk "BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH MALIK BIN NABI"