Review Buku Karya J. D. Legge : "KAUM INTELEKTUAL DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN: PERANAN KELOMPOK SJAHRIR"

 



KAUM INTELEKTUAL DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN: PERANAN KELOMPOK SJAHRIR

(Buku karya J. D. Legge)

 

Oleh

Muhamad Sidik, S.Hum.


 




BAB I

PENDAHULUAN 

Perbedaaan pendapat mengenai peranan Sjahrir dan para pengikutnya berfokus pada sejumlah isu yang saling berkaitan. Pertama, ada perbedaan penilaian terhadap kegiatan Sjahrir semasa pendudukan Jepang. Menurut pendapat yang diterima umum, pada awal masa pendudukan itu, para pemimpin kebangsaan yakni Sukarno, Hattra, dan Sjahrir, sekembalinya ke Batavia mencapai kata sepakat bahwa kedua pemimpin yang lebih dikenal yakni Sukarno dan Hatta akan bekerjasama secara terbuka dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk dapat memperlunak perlakuan jepang. Sementara Sjahrir yang kurang dikenal akan beraksi secara diam-diam dengan memusatkan kegiatannya pada upaya membangun gerakan perlawanan bawah tanah menentang penguasa Jepang. Charles Wolf, penerjemah surat-surat Sjahrir dari tempat pengasingannya mengatakan bahwa Sjahrir mengorganisasi dan memimpin suatu gerakan perlawanan bawah tanah yang beroperasi di seluruh Jawa pada masa pendudukan Jepang.

Pada akhir tahun 1945, Sjahrir secara tajam mengecam para pemimpin Indonesia yang telah berkolaborasi dengan Jepang. Oleh sebab itu, menurut tafsiran yang biasanya diterima adalah penting menekankan fakta bahwa Sjahrir ikut dalam kesepakatan ini dan bahwa ia menyetujui peranan resmi yang dimainkan oleh Sukarno dan Hatta. Sjahrir sendiri dalam tulisannya di tahun 1947, secara hati-hati berusaha membebaskan Hatta dari tuduhan berkolaborasi ini. Menurut Sjahrir, bekerja sama dengan Jepang merupakan hal yang tak terelakkan dan Hatta terpaksa menerima baik suatu jabatan resmi karena force majeure. Tetapi Sjahrir tidak mengajukan pembelaan yang sama untuk Sukarno, padahal dapat diargumentasikan bahwa pembelaan itu berlaku bagi Hatta maupun Sukarno, dan beberapa argumen pro-Hatta dapat dipakai juga untuk membenarkan peranan Sukarno.

Sjahrir sendiri memberikan laporan seperti tentang pertemuan mereka bertiga di Jakarta sekembalinya Sukarno dari Sumatera tahun 1942. Begitu pula dengan kesaksian Sukarni, walaupun kenangannya atas peristiwa-peristiwa itu baru disampaikannya bertahun-tahun kemudian. Demikian juga pada pokoknya, kesaksian Hatta yang diutarakan dalam memoar-memoar yang ditulisnya, lama setelah peristiwa itu terjadi.

Kedua, dalam revisi-revisi historis mengenai revolusi menyangkut kedudukan Sjahrir sebagai seorang pemimpin nasional. Menurut pandangan Kahin, Sjahrir merupakan tokoh yang berpengaruh di hari-hari menjelang proklamasi kemerdekaan dan sesudahnya. Ia adalah arsitek terjadinya pergeseran sistem di bulan Nopember 1945, dari sistem presidensial sebagaimana ditetapkan dalam UUD yang pertama menjadi sistem parlementer, suatu pergeseran yag dicapai bukan melalui perubahan UUD, melainkan dengan diterimanya suatu konvensi yang menyatakan bahwa UUD akan berjalan dengan sistem parlementer. Kemudian, selaku perdana menteri, dialah yang bertanggung jawab mengemudikan Republik yang masih sangat muda ini di dalam melwati bahaya-bahaya yang mengelilinginya, dan ia berhasil meraih suatu tingkat pengakuan dari dunia luar bagi Republik. Ia juga menempuh kebijaksanaan untuk berunding dengan Belanda, dan benar-benar memperlihatkan kecakapannya yang sangat besar di dalam menentukan arah jalannya perundingan-perundingan itu.

Ketiga, revisi Anderson melalui cara ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan merumuskan isu-isu yang hendak ditelitinya. “Frustasi bersama kaum pemuda, yang mempunyai harapan-harapan revolusioner tetapi tidak memiliki pimpinan revolusi, dan kaum intelektual kelas menengah metropolitan berkolaborasi maupun bergerak di bawah tanah – berada di posisi untuk memimpin tetapi sama sekali belum berpengalaman untuk itu tanpa dukungan dari luar – merupakan motif utama Revolusi Indonesia.” Merumuskan isu-isu ini dengan cara seperti itu dengan sendirinya akan menimbulkan kritik terhaap kaum intelektual dan melahirkan kisah yang bersimpati terhadap aspirasi-aspirasi pemuda.

Seperti yang dikemukakan di atas, interpretasi yang berbeda-beda itu mencerminkan kerangka analisis yang lebih luas yang dipakai oleh para penulisnya, dan juga perbedaan preferensi dan simpatinya.

 

                                                                                                                                                                     

BAB II

NASIONALISME DAN PERANAN KAUM INTELEKTUAL DI INDONESIA

Nasionalisme di Indonesia merupakan suatu fenomena yang beraneka ragam dan harus dibedakan antara fase-fase pergerakan yang lebih awal dan yang lebih kemudian. Antara mereka yang berpikir di dalam kerangka kebangkitan kembali Islam dan di dalam kerangka kemerdekaan politik, serta antara orang-orang yang terutama menghendaki kemerdekaan dari kekuasaan Belanda dan orang-orang yang menginginkan perubahan sosial yang radikal. Keanekaragaman ini kadang-kadang terwujud dalam bentuk perhatian – yang pada umumnya bersifat aristokratis atau sekurang-kurangnya elitis – terhadap pendidikan dan perbaikan nasib penduduk pada umumnya, kadang-kadang dalam upaya-upaya untuk menciptakan suatu pergerakan massa dengan atau tanpa landasan Islam, seperti Sarekat Islam atau Partai Nasional Indonesia (PNI), dan kadang-kadang dalam bentuk yang lebih radikal seperti Federasi Sosial Demokrat Hindia (yang kemudian hari menjadi Partai Komunis Hindia). Dari segi ideologi, teori Marxis dapat bergandengan dengan reformisme Islam atau pemikiran demokratis Barat. Sejak pertengahan dasawarsa 1920, konsolidasi dari apa yang dinamakan nasionalisme Islam atau nasionalisme komunis, mencerminkan suatu perlwanan yang lebih terbatas dan berfokus lebi sempit terhadap kekuasaan Belanda. Cara pendekatan ini diwakili dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda, studie club-studie club di Indonesia, dan dalam pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927.

Sumbangan ideologis PNI, khsusunya seperti yang diungkapkan oleh ketuanya, Sukarno, menggemakan suara Indische Partij yang didirikan oleh Douwes Dekker pada 1912 yang menekankan pentingnya mempersatukan semua corak opini nasionalis dalam upaya mencapai kemerdekaan politik. Dalam kasus PNI, tujuan kemerdekaan ini dikaitkan dengan persepsi-perrsepsi yang tidak begitu tepat mengenai perubahan sosial yang akan menyertainya dan yang pada waktunya melahirkan Republik yang merdeka, adil dan makmur. Keadilan dan kemakmuran nampaknya tidak begitu sulit dicapai apabila kekuasaan asing sudah diakhiri. Sementara itu, tugas partai adalah mengerahkan kekuatan rakyat dalam rangka melakukan tekanan yang terus-menerus terhadap pemerintah kolonial, dan gerakan itu harus dipersatukan. Untuk sementara waktu, garis-garis ideologis yang memisahkan golongan Muslim dari golongan komunis dan yang memisahkan kedua-duanya dari golongan yang melulu nasionalis harus dikesampingkan demi kepentingan perjuangan mencapai tujuan minimum yang dapat disepakati oleh semua pihak. Sudah barang tentu terdapat perbedaan-perbedaan sikap dan tabiat dalam partai ini. Proyeksi Sukarno mengenai wawasan-wawasan dan program partai tidak dengan sendirinya identik dengan pandangan para sarjana hukum berpendidikan Belanda yang lebih bersikap hati-hati, seperti Sunarjo atau Sartono, dan pandangan-pandangan mereka ini jelas tidak identik dengan pandangan Hatta dan anggota-anggota perhimpunan Indonesia yang berpandangan lebih teoritis.

Peranan kaum intelektual dalam berbagi pergerakan kebangsaan di Asia sudah banyak dibahas dan digambarkan cukup jelas. Para intelektual yang berpendidikan Barat yang sangat kompeten namun tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang dianggap ccocok oleh mereka, mungkin sekali mencapai tingkat kesadaran politik yang tinggi sehingga mampu memberikan bentuk ideologi kepada beraneka ragam aspirasi yang seringkali baru tumbuh di kalangan massa, dan memberikan kepemimpinan politik kepada gerakan-gerakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial.

Harry Benda, yang mengembangkan lebih jauh anlisis itu membedakan antara posisi intelektual di dalam masyarakat yang sudah maju dan masyarakat yang sedang berkembang. Di dalam masyarakat Barat, kaum intelektual tidak membentuk kelas sosial tersendiri. Mereka hidup sebagai pelengkap kelas-kelas lainnya dan ditentukan dari segi wawasan, gaya hidup, dan persepsi diri, bukan dari segi posisi ekonomi atau kedudukan sosial atau kepentingan-kepentingan bersama. Sebaliknya, di dalam masyarakat yang sedang berkembang kaum intelektual memperoleh kedudukan dan pengaruh semata-mata karena mereka adalah intelektual. Anggota-anggotanya membentuk sebuah kelas tersendiri dan karenanya kaum intelegensia di sana memegang kekuasaan politik. Selain itu, menjadi intelektual berarti melakukan suatu pekerjaan, memenuhi panggilan hidup dengan nilai dan aturan, disiplin serta kode etiknya sendiri.

Mengingat latar belakang dan pendidikannya, serta dorongan wawasan-wawasannya, kaum intelegensia dalam masyarakat tradisional merupakan kelompok yang khusus berkaitan dengan apa yang dapa disebut sebagai tantangan kultur Barat, dan para anggotanya berusaha keras untuk menguasai wawasan-wawasannya. Proses itu diserap oleh tradisi intelektual modern di mana sebagian kaum intelegensia baru itu berada di dalam masyarakatnya sendiri. Itulah sebabnya mereka sering dituduh tidak mempunyai akar. Bahkan oleh anggota pergerakan kebangsaan lainnya dinilai seperti itu.

Sebagian besar intelegensia baru itu pada mulanya berasal dari keluarga-keluarga priyayi tingkat atas, tetapi dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga terdidik untuk mengisi birokrasi pemerintah dan perusahaan swasta yang sedang mengalami ekspansi, maka banyak pula orang dari kalangan rakyat bisa maupun aristokrasi rendahan dapat memperoleh pendidikan Belanda yang pada beberapa tahun sebelumnya masih tertutup bagi mereka dan perkembangan-perkembangan ini mulai mengaburkan secara berangsur-angsur perbedaan-perbedaan status berdasarkan kelahiran sehingga menjelang dasawarsa 1920, orang sudah dapat bebicara tentang keberdaan intelegensia sebagai kelas tersendiri.

Salah satu dari kalangan intelektual yang muncul kemudian adalah Sjahrir yang lahir di Padang panjang, Minangkabu pada tahun 1909, sebagai anak seorang ahli hukum yang bekerja pada pemerintah sebagai jaksa dan kemudian, pada 1913 sebagai kepala jaksa di Medan. Dengan demikian, sejak semula Sjahrir mendapatkan dirinya berada dalam lingkungan di mana pendidikan profesional Barat dihargai dan ketika masih kecil ia juga mengalami bentuk-bentuk pengaruh intelektual lainnya. Sjahrir sendiri menempuh salah satu jalan yang lazim terbuka bagi anak-anak cerdas dari keluarga yang berkedudukan baik. Di Medan ia masuk ELS dan setelah itu MULO. Dari sana tahun 1926 ia pergi belajar di AMS Bandung. Ia bergabung dengan studie club “Patriae Scientiaeque” dan kemudian dengan Pemuda Indonesia sebagai ketua cabang Bandung.

Setelah tiga tahun tinggal di Bandung, Sjahrir termasuk dalam sebuah kelompok mahasiswa Indonesia pilihan yang dapat melanjutkan studi pada tingkat universitas di Belanda. Mula-mula ia belajar di Universitas Amsterdam, kemudian belajar hukum di Leiden. Seperti orang-orang lain yang segenerasi dengannya, ia merasa tergairahkan dan bahkan terserap sepenuhnya oleh lingkungan unversitas di Belanda. Dengan bersemangat ia memasuki kehidupan mahasiswa antara lain ke dalam kegiatan politik mahasiswa. Ia bergabung dengan Perhimpunan Mahasiswa Sosial-Demokrat Amsterdam yang walaupun merupakan sebuah organisasi mahasiswa independen, mempunyai hubungan dengan Partai Buruh Sosial-Demokrat (SCAP). Dengan demikian, ia memiliki pengalaman berpartisipasi langsung dalam kehidupan politik Belanda.

Minat Sjahrir terhadap politik berjalan seiring dengan kehidupan sosial seorang mahasiswa yang aktif. Dalam situasi itu, Sjahrir berkenalan dengan aliran-aliran pemikiran yang sama seperti yang dialami Hatta, tetapi Sjahrir terbawa arus itu ke arah yang agak berbeda. Ia menyerap gagasan-gagasan dalam bentuk yang lebih lengkap dan lebih sekuler, bereaksi terhadapnya dengan cara yang tidak sekhidmat reaksi Hatta tetapi yang pasti tidak kalah bergairahnya. Sebagai mahasiswa dan sesudahnya ia sepenuhnya terlibat dalam suatu perjuangan intelektual untuk mencapai suatu sintesis yang total. Daya tarik teori marxis merupakan sebagian dai masalah-masalah teoritis yang lebih luas yang diminati Sjahrir. Sjahrir bukanlah seorang inovator intelektual, namun dalam pendekatannya terhadap wawasan orang lain, ia memusatkan  perhatiannya pada konsep, analisis, dan koherensi.  Kegiatan politik, menurut pendapatnya, harus mempunyai landasan teori yang kuat. Sekembalinya ke Indonesia, dalam tulisannya untuk surat kabar PNI Baru, Daulat Ra’jat, ia menyerukan kecermatan dan ketepatan dalam menyusun suatu teori. Sjahrir memperlihatkan jalan pikirannya dengan cara yang paling jelas, bukan di dalam tulisan-tulisan politiknya yang spesifik melainkan dalam renungan-trenungannya yang terkandung dalam surat-surat yang ditulisnya. Dalam komentarnya mengenai pengetahuan Barat di dalam surat-suratnya itu ia selalu menekankan wawasan tentang rasionalitas dan vitalitas.


 

BAB III

TERBENTUKNYA KELOMPOK SJAHRIR PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DI JAKARTA

 

Sebagian diantara para pemuda yang tertarik ke dalam orbait Sjahrir dalam tahun 1943-1944 telah mengadakan kontak dengan Sjahrir hampir secara kebetulan melalui kawan-kawan yang sudah lebih dahulu menjadi kawan Sjahrir. Perkenalan semacam itu berlangsung dengan latar belakang kegiatan dan politisasi pemuda yang lebih luas yang merupakan akibat wajar dari kekacauan di semua lapisan masyarakat Indonesia yang ditimbulakn oleh pendudukan Jepang dan sebagian lagi, merupakan akibat dari kebijakan mobilisasi yang secara sengaja ditempuh oleh orang-orang Jepang sendiri dalam uapaya mereka megontrol dan mendapatkan dukungan dari penduduk Indonesia yang sudah ditaklukannya. Berbagai macam organisasi pemuda dibentuk guna melayani berabagai sektor masyarakat, sebagai contoh Seinendan yang khusus dimaksudkan untuk para pemuda di desa-desa dan kota-kota kecil. Angkatan Muda, yang bermarkas di Bandung dan menghimpun anatara lain pelajar-pelajar sekolah menengah atas. Angkatan Baru, sebuah organisasi yang lebih terbatas untuk pemimpin-pemimpin pemuda ayng berpusat di Jakarta. Di samping itu, terdapat organisasi massa nasional yakni Putera dan penerusnya, Djawa Hokokai, dan organisasi-organisasi militer atau semi-militer yang dibentuk untuk memberikan latihan dasar militer kepada penduduk setempat, yaitu Peta (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan bantuan Indonesia dalam Angkatan Darat Jepang), dan barisan Pelopor yang dibentuk di bawah pengawasan Djawa Hokokai. Organisasi-organisasi ini beroperasi dalam suasana meningkatnya harapan dan ancaman malapetaka yang manandai bulan-bulan terakhir kekuasaan Jepang.

Tetntu saja, kegiatan kaum nasionalis di masa pendudukan Jepang dan tidak lama sesudahnya bukan merupakan gerakan yang homogen. Ada garis pemisah di dalam masyarakat Indonesia yang sebgaian terbuka dan sebagain terselubung tapi akan menjadi penting di kemudian hari. Ada perbedaan generasi diantara para pemimpin kebangsaan yang lebih tua dengan mereka yang memulai pengalaman politik mereka di masa pendudukan Jepang. Tapi ada unsur-unsur perbedaan ideologis yang mendasar. Sjahrir, dalam oposisinya terhadap Jepang tidak semata-mata atau barangkali bahkan digerakan oleh pertimbangan nasionalis, tapi juga oleh pertimbangan-pertimbangan doktrin politik. Ia memandang Jepang sebagai kaum fasis yang mempunyai ikatan integral dengan fasisme Eropa.

Keanekaragaman kasus tersebut tidak mengaburkan koherensi dan sifat jalin-menjalin kelompok asal mereka. Dalam kelompok Sjahrir sendiri, eksistensi kelompok tersebut ditentukan oleh kepribadian Sjahrir sendiri. Pandangan-pandangan ideologis para anggotanya sangat tidak koheren dan karenanya doktrin atau ideologi tidak mungkin mendefinisikan ara anggotanya dan mempersatukan mereka sebagai kelompok. Sebagai gantinya, yang tampak adalah serangkaian hubungan pribadi demngan satu tokoh sentral yang menarik orang-orang kepada dirinya karena sikapnya yang hangat, ninatnya terhadap ide-ide, dan kesediaannya untuk mendiskusikan ide-ide itu dengan orang-orang yang berkumpul di rumahnya.

Tidak semua orang yang memasuki lingkungan pengaruh Sjahrir di masa pendudukan Jepang dan segera sesudahnya merupakan pengikut yang berkeyakinan kuat. Ada juga yang skeptis. Rosihan Anwar, sabagai pemuda, menganggap Sjahrir agak arogan. Hazil Tanzil, berpendapat Sjahrir kadang-kadang dapat bersikap kejam dan ia mencatat adanya kecenderungan pada diri Sjahrir untuk bersikap hormat terhadap lawan tetapi sengit terhadap kawan-kawan yang sesekali berbeda pendapat.

Gambaran yang muncul tentang para pemuda pengikut Sjahrir di masa pendudukan Jepang adalah sebuah kelompok pertemanan yang mengambang bukan karena sel bawah tanah yang terorganisasi dengan ketat. Di dalam kelompok itu ada pembicaraan mengenai soal-soal politik khususnya, ada kesadaran tentang dunia luar yang diperoleh dari mendengarkan siaran-siaran radio luar negeri secara sembunyi-sembunyi. Pada umumnya, ada kesadaran sebagai anggota kelompok inti yang terdiri dari orang sependirian dan bukan suatu organisasi yang terstruktur dan dikontrol. Orang-orang di luar kelompok kadang-kadang dibuat merasa asing dengan kelompok itu. Mereka sesekali merasakan bahwa percakapan secara bisik-bisik diantara anggota-anggota kelompok itu tidab-tiba dihentikan atau beralih ke pokok percakapan yang lain apabila ada orang luar bergabung dengan mereka.

Sjahrir sekurang-kurangnya berusaha memelihara hubungan dengan kelompok-kelompok di luar Jakarta dan memelihara jaringan kontak dan para mahasiswa yang menjadi pengikutnya kadang-kadang mengambil bagian di dalam kegiatan-kegiatan itu dengan sesekali mengantarkan pesan kepada kelompok-kelompok di berbagai daerah. Di beberapa aerah di Pulau Jawa rekan-rekan Sjahrir yang lebih senior yang semuanya merupakan mantan anggota Pendidikan nasional Indonesia terlibat dalam kegiatan politik yang dilakukan secara tersembunyi. Sastra dan Rusni menginformasikan Sjahrir tentang perkembangan terakhir di Priangan sedangkan Wiyono serta Sugiono Yosodiningrat menginformasikan perkembangan terakhir di Yogyakarta. Di Cirebon, Sudarsono, Soegra, dan Sukanda mengurus sebuah organisasi kecil yang berkaitan dengan Sjahrir dan berpengaruh sampai kekeresidenan Pekalongan yang berdekatan. Soegra pernah menjabat ketua Pendidikan Nasional Indonesia cabang Cirebon pada masa sebelum perang dan ia merupakan salah satu seorang pendiri sebuah sekoah di Waled yang letaknya bedekatan dengan Cirebon dan salah seorang pendiri Koperasi Rakyat Indonesia yang digunakan sebagai kedok untuk kegiatan politik. Di Tegal, Soebadio Mangoenrahardjo ikut serta dalam pembentukan sebuah kelompok pemuda yang diberi nama “Sembilan Bersaudara” yang terdiri dari putra para pejabat rendahan. Di Brebes, Sunarto, seorang kawan kerja Soegra dan bersama-sama dia merupakan pendiri Koperasi Rakyat Indonesia, mendirikan cabang-cabang koperasi itu yang menjadi sebuah jaringan kelompok-kelompok informal yang mempersiapkan diri untuk perjuangan di masa mendatang. Di Jawa Timur, Djohan Sjahroezah, keponakan Sjahrir, melibatkan diri dalam kegiatan serikat Buruh di kalangan buruh minyak di Wonokromo dan Cepu dan meletakan landasan bagi sebuah organisasi bawah tanah yang lebih luas.

Daftar nama-nama di atas sudah merupakan suatu bukti tentang daya tahan Pendidikan Nasional Indonesia selama satu dasawarsa penindasan politik. Mereka yang luput dari pembuangan saling memelihara kontak dan berhasil mempertahankan eksistensi organisasi itu. Soebadio Mangoenrahardjo sesungguhnya merupakan ketua Pendidikan Nasional Indonesia yang terakhir sebelum Invasi Jepang dan karirnya mencerminkan karir banyak anggota partai itu.

Jadi, penilaian mengenai sifat organisasi yang telah dibangun oleh Sjahrir di masa pendudukan Jepang dan tidak lama sesudahnya ini, agaknya harus berada di antara kedua ujung yang ekstrem. Sejauh menyangkut anggota-anggota kelompok Sjahrir yang berusia lebih muda, ikatan-ikatan yang mempersatukan para anggotanya pada mulanya lebih bersifat pribadi ketimbang ideologis atau keorganisasian. Mereka merupakan kelompok perlawanan yang banyak diantaranya adalah sudah saling mengenal dengan akrab dalam berbagai hubungan yang berbeda-beda, dan mereka merasa mempunyai hubungan yang akrab dengan Sjahrir. Kelompok perkawanan ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu organisasi. Tetapi mereka menyadari bahwa kontak-kontak Sjahrir adalah lebih luas, mencakup mereka hingga kegiatan-kegiatan terorganisasi seperti yang dilakukan oleh Djohan Sjahroezah, dan mereka merasa telah berpartisipasi dalam kegiatan yang lebih luas itu. Tentu saja keseluruhan operasi kelompok ini masih sangat sederhana, belum menjadi gerakan perlawanan yang efektif dengan basis yang luas dan pimpinan yang terpusat terhadap kekuasaan Jepang. Tidak ada tindak kekerasan yang terorganisasi, tidak ada kegiatan gerilya, dan bahkan tidak ada gerakan bekerja lambat yang berarti di sekitar industri. Tetapi tidak adil kiranya untuk memungkiri arti penting persiapan-persiapan yang ketika itu dilakukan oleh Sjahrir dan rekan-rekannya bagi perjuangan yang akan datang. Persiapan-persiapan itu mencakup upaya perekrutan anggota-anggota berusia muda dan perumusan suatu strategi jangka panjang, yang dibentuk dengan asas-asas Pendidikan Nasional Indonesia yang lama, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan situasi yang akan muncul dengan kekalahn Jepang yang tak terelakkan lagi.


 

BAB IV

PROFIL PARA PENGIKUT BARU

 

Orang-orang yang direkrut Sjahrir di masa pendudukan Jepang dan masa berikutnya merupakan anggota suatu elite intelektual dalam artian bahwa mereka telah memperoleh pendidikan dasar dan menengah Belanda dan melanjutkan studi mereka ke perguruan tinggi di Indonesia. Ada orang-orang yang mempunyai pengalaman pendidikan serupa tetapi tidak terpilih untuk menjadi anggota kelompok itu, atau tidak tertarik ke kelompok itu melalui kawan-kawan mereka atau melalui kegiatan politik mereka sendiri.

Sebagian mahasiswa pengikut Sjahrir lahir antara tahun 1918 dan 1922. Menjelang usia dua puluh atau awal dua puluhan mereka sudah menjadi anggota suatu elite intelektual. Oleh karena mereka berasal dari kalangan mahasiswa atau eks-mahasiswa, dan karena pendidikan tinggi tertutup bagi semua kecuali minoritas rakyat yang sangat kecil jumlahnya, maka orang tua mereka mestinya, paling tidak, cukup kaya untuk membiayai pendidikan seperti itu dan mempunyai kedudukan serta pengaruh yang cukup besar untuk memasukkan anak-anak mereka sejak awal ke sekolah-sekolah yang sesuai. Akan tetapi dalam beberapa kasus, orang tua mereka memerlukan tekad yang cukup besar untuk melakukan hal itu.

Maka, dari latar belakang pendidikan mereka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anggota kelompok itu berasal dari kalangan yang relatif berpengaruh dan kaya. Sebagian diantara mereka berdarah ningrat, anak-anak keluarga priyayi di Jawa atau anak-anak keluarga bangsawan dari daerah-daerah lain. Yang lain-lainnya bukan merupakan bukan merupakan anak bangsawan.

Pengikut-pengikut Sjahrir yang lebih muda terdiri dari orang-orang yang telah menikmati literatur dan musik Eropa, dan menganggap pemikiran politik Eropa sebagai relevan. Di antara mereka ada yang menemukan suatu analisis mengenai nasib buruk mereka di dalam teori marxis, yang nampaknya dapat menjelaskan segala jenis fenomena sosial.

Di kalangan anggota-anggota kelompok Sjahrir jelas ada sikap mendua mengenai relevansi dan masa depan masyarakat tradisional. Mereka menganggap diri mereka modern dan partisipan terutama dalam kebudayaan intelektual modern. Dan mereka percaya bahwa modernisasi merupakan tujuan yang harus dicapai oleh Indonesia. Kita juga telah mencatat sikap mereka yang relatif tak peduli dengan asal-usul etnis. Dan jikla kepedulian semacam itu memang ada, hal itu harus dianggap sebagai suatu sikap yang dibuat-buat dan artifisial.

Sampai sejauh itu dan dengan segala perbedaan-perbedaan individual, pengikut-pengikut Sjahrir dapat mendekati metodenya dalam memecahkan dilema kepribadian yang terbelah dalam suatu masyarakat yang sedang dalam peralihan, tetapi bagi mereka dilema itu nampaknya tidak sebasar seperti bagi Sjahrir. Atau lebih tepat, apa yang nampak sebagai masalah bagi Sjahrir, setelah ia larut sepenuhnya dalam masyarakat di Belanda, agaknya tidak menimbulkan suatu masalah identitas bagi pengikut-pengkiutnya. Mereka menempatkan diri – dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda tetapi pada akhirnya dengan keyakinan – di pihak perubahan dan modernisasi, dan tidak memandang hal ini dari segi ketidaksesuaian antara kebudayaan Barat dan kebudayaan pribumi. Hanya beberapa orang saja meraksan jenis beban dan ketegangan seperti yang tercermin dalam tulisan-tulisan Sjahrir.

Ada beberapa ciri intelektual yang penting yang nampaknya umum di kalangan mereka. Penerapan cara pendekatan umum Sjahrir terhadap soal-soal sejarah, politik, dan tatanan sosial serta perumusan strategi untuk menghadapi situasi di Indonesia sesudah Jepang menyerah. Untuk sementara waktu, yang penting adalah kecenderungan umum kelompok ini. Dapat diasumsikan bahwa perkembangan intelektual di kemudian hari telah mempengaruhi kenangan-kenangan tetnag bagaimana wawasan-wawasan berkembang pada mulanya.

Stereotip pengikut Sjahrir adalah individu yang sangat intelektual, secara sadar pendangan modern, memiliki pemahaman yang canggih mengenai dunia dan segala seluk-beluknya, juga mempunyai kebanggaan terhadap kompetensi teknis, percaya diri, dan arogan terhadap orang-orang yang tidak terima masuk dalam kelompok mereka. Realitasnya lebih kompleks.

Namun, dengan segala keanekaragaman ini, beberapa ciri umum nampaknya ada pada mereka. Mereka mungkin tidak menganut doktrin yang sama, tetapi mereka sangat mengutamakan rasio dan bangga dengan kerasionalan pendekatan mereka teradap masalah-masalah di masa itu. Rasionalitas mereka berkaitan dengan persepsi diri mereka sebagai modernisator. Mereka suka berpikir, berargumentasi, dan meyakini arti penting dari jenis wawasan-wawasan yang telah mereka serap. Dan nasionalisme mereka disesuaikan dengan nilai-nilai yang lain. Mereka bersikap demokratis dalam artian antiotoriterisme, dan mereka semua mempunyai suatu komitmen yang umum terhadap individualisme walaupun dengan pengertian yang kabur, setidak-tidaknya terhadap pentingnya hak-hak manusia dan humanisme yang luas.

Hal-hal terakhir itu perlu mendapat penekanan karena mencerminkan suatu warna yang penting dalam cara berpikir kelompok itu. Ada kesadaran umum bahwa nasionalisme, dengan segala keutamaannya mempunyai bahayanya, dan ada keyakinan bahwa nilai-nilai perikemanusiaan dan asas-asas demokrasi sama pentingnya dengan tujuan kemerdekaan bagi Indonesia. Terlalu mudah bagi ideologi nasionalis untuk mengenakan sejumlah kedok otoriterisme. Ideologi nasionalis, umpamanya, dapat mengangkat bangsa dengan mengorbankan individu. Idelogi itu dapat begandengan dengan pandangan bahwa individu hanya dapat mewujudkan dirinya secara penuh di dalam bangsa atau negara.

Di samping pandangan-pandangan ekstrem itu, ada implikasi-implikasi negarais (statist) yang melekat pada sebagian besar pemikiran nasionalis. Di dalam pemikiran nasionalis sejumlah besar partai sebelum perang, ada unsur kepercayaan yang kuat terhadap kekuasaan negara untuk mencapai tujuannya atas nama rakyat. Kepercayaan seperti itulah jelas memperlihatkan warna-warna otoriter.

Para pemuda pengikut Sjahrir menyadari benar bahaya-bahaya seperti itu dan mereka tidak hanya peduli demngan perjuangan kemerdekaan saja, tetapi juga dengan tujuan kemerdekaan yang demokratis. Sebelum pendudukan Jepang, hal itu lebih merupakan kecenderungan ideologis daripada program yang sebagian mereka peroleh dari bacaan, sebagian dari diskusi di antara sesama mereka.

Nilai-nilai dan kecenderungan itu bermuara menjadi suatu pandangan yang cocok sekali dengan cita-cita sosial-demokratis Pendidikan Nasional Indonesia dan dengan pandangan yang masih ingin disebarluaskan oleh Sjahrir. Orang-orang muda yang telah dihimpun olehnya pada masa sebelum Agustus 1945 dan segera sesudahnya sudah siap untuk menjadi kaum sosial demokrat menurut polanya. Mereka percaya bahwa sosialisme dan demokrasi kedua-duanya dapat dicapai. Dan juga bahwa sosialisme tidak akan merupakan sosialisme sejati bila tidak ada penghormatan terhadap individu dan dengan demikian, tidak ada lembaga-lembaga demokratis. Sebagaimana mereka mencurigai otoriterisme yang mungkin terkandung dalam ideologi nasionalis, demikian pula, mereka menolak pandangan bahwa untuk mencapai sosialisme orang harus tunduk sepenuhnya kepada disiplin dari suatu partai pelopor. Sentralisme demokrasi merupakan suatu istilah yang mengandung kontradiksi di dalam dirinya sendiri.

Tentu saja sejauh ciri-ciri kelompok itu baru dilukiskan dengan cara yang sangat umum karena hanya itulah yang dapat dikatakan tentang mereka semasa kelompok itu masih dalam proses mendefinisikan dirinya. Lingkungan politik dimana anggota barunya, bersama-sama dengan para pengikut Sjahrir yang lebih tua, pada akhirnya membentuk suatu partai tersendiri. Pada 1945 mereka hanya merupakan sebuah kelompok informal di samping kelompok-kelompok lain yang mempunyai pandangan-pandangan yang bersaingan dan kadang-kadang saling bertentangan dan memiliki kesetiaan kepada pemimpin-pemimpin yang lain, dalam situasi umum yang ditandai oleh suatu gambaran ideologis yang sangat kompleks dan terus-menerus berubah. Dalam tahun-tahun berikutnya, garis-garis ideologis dan organisasi akan banyak dilintasi dan dilintasi kembali. Bagaimanapun, garis yang telah memisahkan Pendidikan Nasional Indonesia dan Partindo di masa lampau, dan yang di kemudian hari akan memisahkan PNI, PKI, Murba dan PSI sati sama lain, tak pernah tetap dan tidak berubah.

BAB V

ASAS DAN KEMUNGKINAN: PRAKTIK KEBIJAKAN SJAHRIR

 

Tema-tema sentral yang membentuk pandangan Sjahrir dan rekan-rekannya mengenai dunia di sekitar mereka, mengenai masalah-maslah sosial dan ekonomi di dalam dan di luar negeri, dan mengenai tujuan-tujuan perjuangan politik yang sesungguhnya, telah didefinisikan di awal dasawarsa 1930 semasa giat-giatnya Pendidikan Nasional Indonesia, dan sejak itu tema-tema ini merupakan unsur-unsur yang selalu hadir yang akan diterapkan dengan cara keadaan yang tepat pada keadaan yang berubah-ubah, untuk dimodifikasikan samapi tingkat tertentu tanpa perubahan yang mendasar. Yang esensial tentang perjalanan sejarah dunia yang mencakup evolusi kepitalisme dan imperialisme, pasang-surutnya perkembangan peristiwa-peristiwa internasional, dan masalah tatanan ekonomi dalam negeri. Hal ini merupakan sauatu perspektif yang Eropasentris yang melihat perkembanghan di Indonesia sebagai bagian perkembamngan sejarah Barat pada umumnya. Tetapi, bagi Sjahrir dan kawan-kawannya, semua ini adalah satu. Penjajahan terhadap Indonesia dilihat sbagai produk krisis kapitalisme Eropa. Begitu pula dengan fasisme.

Implikasi proposisi-proposisi yang sangat umum ini bagi Indonesia tidak diuraikan dengan sangat rinci oleh Sjahrir. Kemerdekaan sudah tentu merupakan tujuan yang harus diperjuangkan setelah kalahnya negara-negara poros, dan keadilan sosial, demokrasi politik, serta penghormatan hak-hak manusia merupakan tujuan-tujuan domestik yang tidak dipermasalahkan lagi dalam Indonesia yang sudah merdeka. Tetapi, agaknya masih ada beberapa persoalan mengenai apakah pemecahan yang sosial demokratis membutuhkan revolusi industri. Atau apakah Indonesia sudah ada landasan sosial untuk mendukung demokrasi politik. Orang mungkin dapat mengemukakan pertimbangan bahwa demokrasi sosial bertujuan untuk mengkoreksi cacat-cacat demokrasi kapitalis di dalam masyarakat-masyarakat industri, dan mungkin tidak menawarkan pedoman yang jelas bagi masyarakat jajahan yang baru dibebaskan. Tetapi, bagaimanapun juga itulah kerang konseptual umum yang di dalamnya strategi-strategi politik jangka pendek dan jangka panjang Sjahrir akan dirumuskan.

Selama tiga tahun pertama revolusi, Sjarhir harus menanggapi tekanan kondisi-kondisi keadaan yang sedang dihadapi. Ini tidak berarti bahwa tindakan-tindakannya sudah ditentukan sebelumnya, atau bahwa ia tidak mempunyai ruang gerak untuk melakukan pilihan dan menempuh kebijakan-kebijakan alternatif.

Sifat strategi Sjahrir terungkap dalam responnya terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan Agustus 1945, dan sebagian dalam manuver-manuver politik berikutnya yang menempatkan dirinya pada kedudukan perdana menteri, dan juga dalam cara ketiga pemerintahannya menangani tekanan-tekanan dari dalam dan luar negeri pada waktu itu. Singkatnya, sejumlah asas pedoman dapat kita lihat dalam tindakan-tindakan dan kata-katanya sema periode itu, diantaranya ada yang hanya merupakan penerapan wawasan-wawasan politiknya yang sudah ada pada kenyataan yang dihadapinya, dan ada yang merupakan perpanjangan atau revolusi pandangan itu dalam rangka situasi yang berkembang. Pertama, yang penting baginya adalah bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus bernada istilah anti fasis. Itu merupakan konsekuensi perspektif yang sudah ia kembangkan mengenai arah perkembangan  peristiwa-peristiwa di dunia pada dasawarsa 1930. Pembebasan Indonesia dan perkembangannya sebagai sebuah Republik yang demokratis dan sosialis mempunyai tempatnya dalam perspeftif itu. Kedua, kesadarannya akan potensi otoriter yang terkandung dalam proses revolusi. Sikapnya itu termanifestasi dalam beberapa cara. Dengan memperhitungkan ketidakmenentuan situasi dan kemungkinan terjadinya kekacauan setelah kekalahan Jepang, Sjahrir menginginkan agar kemerdekaan diproklamasikan dengan cara yang setertib mungkin dan melalui apa yang dapat dianggap sebagai suatu otoritas Indonesia yang terbentuk sebagaimana mestinya. Ia khawatir akan timbulnya kemungkinan terjadinya aksi yang tidak terkendalikan dan tidak berdasar informasi yang cukup oleh kelompok-kelompok pemuda di ibukota. Sikap yang sama mendasari harapannya selama delapan belas bulan berikutnya, bahwa kemerdekaan akan dapat dirundingkan dan suatu perjuangan yang berlarut-larut, menggunakan kekerasan dan diliputi kekacauan, akan dapat dihindari.

Dari segi praktis, ia tidak melihat pilihan lain kecuali berusaha mencapai penyelesaian melalui perundingan, tetapi komitmennya untuk diplomasi dan bukan oposisi tanpa kompromi terhadap belanda, apad prinsipnya bersumber pada keyakinannya bahwa perjuangan yang sama sekali bukan merupakan proses pemersatuan, akan membahayakan prospek penyelesaian yang demokratis. Begitu pula kecurigaannya. Terhadap pengaturan-pengaturan  pemerintahan yang menempatkan kekuasaan formal yang terlalu bear di tangan seorang kepala pemerintahan, merupakan bagian dari kompleks pandangan-pandangan yang sama. Alternatif sistem parlementer yang diusulkannya, dengan sendirinya sejalan dengan kepentingan politiknya yang langsung. Sistem ini cocok dengan keterampilan politiknya dan memungkinkannya memainkan suatu peranan yang dalam keadaan yang lain akan tertutup baginya, tetapi masih banyak lagi alasan yang lain. Ketiga, kita dapat menyebutkan penilaiannya mengenai terbatasnya kemungkinan-kemungkinan perubahan ekonomi dan sosial pada tahun-tahun pertama kemerdekaan.

Definisi mengenai sikap-sikap ini dapat ditelaah dengan baik dalam respon Sjahrir sendri atas peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi tahun 1945 dan seusdahnya. Dalam monografi ini tidak dikandung maksud untuk melukiskan dengan rinci peristiwa-peristiwa dalam revolusi, ataupun menyajikan suatu laporan lengkap mengenai langkah-langkah yang mengarah pada pemisahan diri para pengikut Sjahrir dari partai sosialis dan pembentukan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Kekhawatiran-kekhawatian seperti yang dipaparkan di atas menyebabkan Sjahrir tidak dapat mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk memaksa Sukarno dan Hatta dan pada dasarnya ia tidak bersimpati dengan tindakan penculikan terhdapa kedua pemimpin itu. Sebagai akibatnya, sebagian pemuda Jakarta memperoleh kesan bahwa ia telah gagal untuk memberi pimpinan pada saat yang kritis. Padahal, penolakannya itu bersumber langsung dari prinsip poitiknya.

Namun, pengunduran dirinya hanyalah untuk sementara. Walaupun dengan cara itu ia tidak melibatkan diri dalam peristiwa-peristiwa pada tanggal 16-17 Agustus, ia tidak lama kemudian kembali berada di pusat kegiatan dan memperlihatkan keterampilan politik yang luat biasa dalam menempuh kebijakan yang matang. Inisiatif politiknya berhasil mengubah konvensi-konvensi konstitusional yang mendasari pementukan pemerintah Republik yang pertama.

Selanjutnya, untuk menciptakan ketertiban dalam pergoalakan di masa pascaproklamasi dan meratakan jalan bagi perundingan dengan Belanda merupakan tugas-tugas yang cukup penting bagi pemerintah Sjahrir, tetapi tugas-tugas ini diperumit oleh kenyataan bahwa hal-hal itu harus ditanggulangi dalam situasi persaingan politik yang akut dalam negeri. Mungkin ada harapan bahwa perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan eksistensi nasional akan menjamin persatuan bangsa. Tetapi, ternyata ada perbedaan-perbedaan penting diantara unsur-unsur yang bersaingan yang sebagian besar bersifat ideologis atau keagamaan, sebagian timbul akibat perbedaan antargenerasi, sebagian mencerminkan perselisihan paham tentang kebijakan yang harus ditempuh pada waktu itu dan sebagin lagi hanyalah karena persaingan pribadi.

Pandangan mengenai konteks internasional yang menentukan perjuangan Indonesia merupakan perkembangan kemurnian prinsip-prinsip sosial demokratis Sjahrir di awal dasawarsa 1930, dan meurpakan unsur yang tampak jelas pada kesadarannya mengenai perlunya Republik menmpilkan kesan tertib dan bertanggung jawab tahun 1945 dan 1946, pada cara ia mengadakan perundingan di tahap awal, pada sikapnya yang menantang penyitaan harta milik Belanda, pada responnya yang konservatif terhadap gerakan-gerakan revolusi sosial di dalam Perstiwa Tiga Daerah dan revolusi sosial di Sumatera Timur yang lebih meluas dan lebih mendasar. Pandangannya diterima tanpa banyak keragu-raguan oleh para pengikutnya. Doktrin-doktrin sosial dan ekonomi Sjahrir pada masa revolusi dianggap sebagai hal wajar dalam situasi Indonesia ketika itu.


 

BAB VI

KESIMPULAN

 

Sudah dikemukakan di atas bahwa keanggotaan PSI pada saat pembentukkannya mencakup dua genarasi yang sangat berbeda satu sama lain. Di satu pihak ada rekan-rekan Sjahrir semasa awal dasawarsa 1930, dan di pihak lain, terdapat anggota-anggota baru, yang sebagian besar adalah pemuda yang direkrut pada masa pendudukan Jepang dan bulan-bulan pertama setelah Jepang menyerah. Tetapi, kedua kelompok ini sudah terikat dengan kuat pada tradisi yang sama. Setidak-tidaknya demikianlah pandangan Sjahrir dan hal ini merupakan suatu yang wajar saja.

Kelompok-kelompok elite yang lain yang terlihat dalam spektrum tidak lama sesudah masa pendudukan Jepang, kurang jelas batas-batasnya. Sebagai seorang pemimpin, Amir Sjarifuddin, merupakan tokoh yang sepadan dan memiliki daya tarik bagi kelompok usai yangsama dengan kelompok yang direkrut oleh Sjahrir. Tetapi, daya tariknya yang luas, seperti halnya perubahan-perubahan radikal yang terjadi pada pemikiran politiknya, mau tidak mau menyebabkan kelompok pengikutnya menjadi kurang koheren.

Dengan demikian, ada alasan kuat untuk memandang pengikut-pengikut Sjahrir sebagai tergolong dalam suatu tradisi intlektual yang lebih jelas batasannya dibandingkan pesaing-pesaing utamanya setelah tahun 1945. Namun boleh jadi masih menjadi tanda tanya apakah memang ideologi dan program yang mempersatukan mereka dan memberikan kepada mereka kekhasan itu. Atau barang kali adalah tabiat politik dan bukan gagasan atau tujuan yang membedakan mereka dari yang lain.

Kuatnya kesadaran mengenai soal-soal seperti itu terlihat selama proses pemantapan organisasi PSI dan pemantapan tujuan-tujuannya. Sejak semula dan bahkan ketika memandang partai ini sebagai berasal dari Pendidikan Nasional Indonesia, Sjahrir menyadari bahwa persoalannya bukalah sekedar menghidupkan kembali partai tersebut. Ia menghendaki agar partai baru ini merupakan partai yang bebas dari beban masa lampau. Hal ini sebagian mengacu kepada watak asli Pendidikan nasional Indonesia sebagai partai perlawanan yang hidup di dalam situasi kolonial. Menurut pandangan Sjahrir, unsur-unsur antikolonial dan unsur-unsur nasionalis yang sempit dalam pemikiran partia ini tidak lagi relevan bagi situasi dunia sesudah perang dan harus menyesuaikan pendekatannya dengan situasi saat itu.

Akhirnya, setelah dipaparkan dalam pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik bahwa kencenderungan yang dimulai sejak pertengahan dasawarsa 1960 untuk mengecilkan peran penting Sjahrir dan para pengikutnya selama dasawarsa 1930, 1940, dan 1950 disebabkan oleh sejumlah faktor. Retrospeksi jelas merupakan sebagian darinya. Penilaian peran ini oleh para peneliti mengenai revolusi dan awal sejarah politik Republik yang muncul kemudian, tidak bisa tidak akan dipengaruhi oleh kegagalan politik PSI sebagai partai dan runtuhnya eksperimen sistem parlementer. Penekanan terhadap faktor-faktor budaya di dalam menjelaskan karakteristik perilaku politik Indonesia yang lebih dalam juga ikut berperan. Peneklanan ini ikut memperkuat perspektif yang menampilkan intelegensia modern sebagai kaum intelektual yang teraliansi. Pergeseran penilaian ini boleh jadi sebagian merupakan respon wajar terhadap perhatian besar yang dicurahkan kepada kelompok Sjahrir oleh para peneliti mengenai revolusi dan republik yang muncul lebih awal. Pergeseran ini mungkin pula disebabkan oleh nilai-nilai yang lebih radikal yang dianut oleh para peneliti yang muncul lebih kemudian yang dalam telaah mereka terhadap revolusi dan sesudahnya, mencoba mencari pahlawan dan solusi-solusi yang lain. Apa pun penyebabnya, barangkali sudah waktunya sekarang bila PSI memperoleh kembali tempatnya yang wajar sebagai pusat perhatian umum.

Tidak ada komentar untuk "Review Buku Karya J. D. Legge : "KAUM INTELEKTUAL DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN: PERANAN KELOMPOK SJAHRIR""