Review Buku Karya J. D. Legge : "KAUM INTELEKTUAL DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN: PERANAN KELOMPOK SJAHRIR"
KAUM INTELEKTUAL DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN: PERANAN KELOMPOK SJAHRIR
(Buku karya J. D. Legge)
Oleh
Muhamad
Sidik, S.Hum.
BAB I
PENDAHULUAN
Perbedaaan
pendapat mengenai peranan Sjahrir dan para pengikutnya berfokus pada sejumlah
isu yang saling berkaitan. Pertama,
ada perbedaan penilaian terhadap kegiatan Sjahrir semasa pendudukan Jepang.
Menurut pendapat yang diterima umum, pada awal masa pendudukan itu, para
pemimpin kebangsaan yakni Sukarno, Hattra, dan Sjahrir, sekembalinya ke Batavia
mencapai kata sepakat bahwa kedua pemimpin yang lebih dikenal yakni Sukarno dan
Hatta akan bekerjasama secara terbuka dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk
dapat memperlunak perlakuan jepang. Sementara Sjahrir yang kurang dikenal akan
beraksi secara diam-diam dengan memusatkan kegiatannya pada upaya membangun
gerakan perlawanan bawah tanah menentang penguasa Jepang. Charles Wolf,
penerjemah surat-surat Sjahrir dari tempat pengasingannya mengatakan bahwa
Sjahrir mengorganisasi dan memimpin suatu gerakan perlawanan bawah tanah yang
beroperasi di seluruh Jawa pada masa pendudukan Jepang.
Pada akhir tahun
1945, Sjahrir secara tajam mengecam para pemimpin Indonesia yang telah
berkolaborasi dengan Jepang. Oleh sebab itu, menurut tafsiran yang biasanya
diterima adalah penting menekankan fakta bahwa Sjahrir ikut dalam kesepakatan
ini dan bahwa ia menyetujui peranan resmi yang dimainkan oleh Sukarno dan
Hatta. Sjahrir sendiri dalam tulisannya di tahun 1947, secara hati-hati
berusaha membebaskan Hatta dari tuduhan berkolaborasi ini. Menurut Sjahrir,
bekerja sama dengan Jepang merupakan hal yang tak terelakkan dan Hatta terpaksa
menerima baik suatu jabatan resmi karena force
majeure. Tetapi Sjahrir tidak mengajukan pembelaan yang sama untuk Sukarno,
padahal dapat diargumentasikan bahwa pembelaan itu berlaku bagi Hatta maupun
Sukarno, dan beberapa argumen pro-Hatta dapat dipakai juga untuk membenarkan
peranan Sukarno.
Sjahrir sendiri
memberikan laporan seperti tentang pertemuan mereka bertiga di Jakarta
sekembalinya Sukarno dari Sumatera tahun 1942. Begitu pula dengan kesaksian Sukarni,
walaupun kenangannya atas peristiwa-peristiwa itu baru disampaikannya
bertahun-tahun kemudian. Demikian juga pada pokoknya, kesaksian Hatta yang
diutarakan dalam memoar-memoar yang ditulisnya, lama setelah peristiwa itu
terjadi.
Kedua,
dalam revisi-revisi historis mengenai revolusi menyangkut kedudukan Sjahrir
sebagai seorang pemimpin nasional. Menurut pandangan Kahin, Sjahrir merupakan
tokoh yang berpengaruh di hari-hari menjelang proklamasi kemerdekaan dan
sesudahnya. Ia adalah arsitek terjadinya pergeseran sistem di bulan Nopember
1945, dari sistem presidensial sebagaimana ditetapkan dalam UUD yang pertama
menjadi sistem parlementer, suatu pergeseran yag dicapai bukan melalui
perubahan UUD, melainkan dengan diterimanya suatu konvensi yang menyatakan
bahwa UUD akan berjalan dengan sistem parlementer. Kemudian, selaku perdana
menteri, dialah yang bertanggung jawab mengemudikan Republik yang masih sangat
muda ini di dalam melwati bahaya-bahaya yang mengelilinginya, dan ia berhasil
meraih suatu tingkat pengakuan dari dunia luar bagi Republik. Ia juga menempuh
kebijaksanaan untuk berunding dengan Belanda, dan benar-benar memperlihatkan
kecakapannya yang sangat besar di dalam menentukan arah jalannya perundingan-perundingan
itu.
Ketiga,
revisi Anderson melalui cara ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan merumuskan
isu-isu yang hendak ditelitinya. “Frustasi
bersama kaum pemuda, yang mempunyai harapan-harapan revolusioner tetapi tidak
memiliki pimpinan revolusi, dan kaum intelektual kelas menengah metropolitan
berkolaborasi maupun bergerak di bawah tanah – berada di posisi untuk memimpin
tetapi sama sekali belum berpengalaman untuk itu tanpa dukungan dari luar –
merupakan motif utama Revolusi Indonesia.” Merumuskan isu-isu ini dengan
cara seperti itu dengan sendirinya akan menimbulkan kritik terhaap kaum
intelektual dan melahirkan kisah yang bersimpati terhadap aspirasi-aspirasi
pemuda.
Seperti yang
dikemukakan di atas, interpretasi yang berbeda-beda itu mencerminkan kerangka
analisis yang lebih luas yang dipakai oleh para penulisnya, dan juga perbedaan
preferensi dan simpatinya.
BAB
II
NASIONALISME DAN PERANAN KAUM INTELEKTUAL DI INDONESIA
Nasionalisme di
Indonesia merupakan suatu fenomena yang beraneka ragam dan harus dibedakan
antara fase-fase pergerakan yang lebih awal dan yang lebih kemudian. Antara
mereka yang berpikir di dalam kerangka kebangkitan kembali Islam dan di dalam
kerangka kemerdekaan politik, serta antara orang-orang yang terutama menghendaki
kemerdekaan dari kekuasaan Belanda dan orang-orang yang menginginkan perubahan
sosial yang radikal. Keanekaragaman ini kadang-kadang terwujud dalam bentuk
perhatian – yang pada umumnya bersifat aristokratis atau sekurang-kurangnya
elitis – terhadap pendidikan dan perbaikan nasib penduduk pada umumnya,
kadang-kadang dalam upaya-upaya untuk menciptakan suatu pergerakan massa dengan
atau tanpa landasan Islam, seperti Sarekat Islam atau Partai Nasional Indonesia
(PNI), dan kadang-kadang dalam bentuk yang lebih radikal seperti Federasi
Sosial Demokrat Hindia (yang kemudian hari menjadi Partai Komunis Hindia). Dari
segi ideologi, teori Marxis dapat bergandengan dengan reformisme Islam atau
pemikiran demokratis Barat. Sejak pertengahan dasawarsa 1920, konsolidasi dari
apa yang dinamakan nasionalisme Islam atau nasionalisme komunis, mencerminkan
suatu perlwanan yang lebih terbatas dan berfokus lebi sempit terhadap kekuasaan
Belanda. Cara pendekatan ini diwakili dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda, studie club-studie club di Indonesia,
dan dalam pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927.
Sumbangan
ideologis PNI, khsusunya seperti yang diungkapkan oleh ketuanya, Sukarno,
menggemakan suara Indische Partij
yang didirikan oleh Douwes Dekker pada 1912 yang menekankan pentingnya
mempersatukan semua corak opini nasionalis dalam upaya mencapai kemerdekaan
politik. Dalam kasus PNI, tujuan kemerdekaan ini dikaitkan dengan persepsi-perrsepsi
yang tidak begitu tepat mengenai perubahan sosial yang akan menyertainya dan
yang pada waktunya melahirkan Republik yang merdeka, adil dan makmur. Keadilan
dan kemakmuran nampaknya tidak begitu sulit dicapai apabila kekuasaan asing
sudah diakhiri. Sementara itu, tugas partai adalah mengerahkan kekuatan rakyat
dalam rangka melakukan tekanan yang terus-menerus terhadap pemerintah kolonial,
dan gerakan itu harus dipersatukan. Untuk sementara waktu, garis-garis
ideologis yang memisahkan golongan Muslim dari golongan komunis dan yang
memisahkan kedua-duanya dari golongan yang melulu nasionalis harus
dikesampingkan demi kepentingan perjuangan mencapai tujuan minimum yang dapat
disepakati oleh semua pihak. Sudah barang tentu terdapat perbedaan-perbedaan
sikap dan tabiat dalam partai ini. Proyeksi Sukarno mengenai wawasan-wawasan
dan program partai tidak dengan sendirinya identik dengan pandangan para
sarjana hukum berpendidikan Belanda yang lebih bersikap hati-hati, seperti
Sunarjo atau Sartono, dan pandangan-pandangan mereka ini jelas tidak identik
dengan pandangan Hatta dan anggota-anggota perhimpunan Indonesia yang
berpandangan lebih teoritis.
Peranan kaum
intelektual dalam berbagi pergerakan kebangsaan di Asia sudah banyak dibahas
dan digambarkan cukup jelas. Para intelektual yang berpendidikan Barat yang
sangat kompeten namun tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh pekerjaan
yang dianggap ccocok oleh mereka, mungkin sekali mencapai tingkat kesadaran
politik yang tinggi sehingga mampu memberikan bentuk ideologi kepada beraneka
ragam aspirasi yang seringkali baru tumbuh di kalangan massa, dan memberikan
kepemimpinan politik kepada gerakan-gerakan perlawanan terhadap kekuasaan
kolonial.
Harry Benda,
yang mengembangkan lebih jauh anlisis itu membedakan antara posisi intelektual
di dalam masyarakat yang sudah maju dan masyarakat yang sedang berkembang. Di
dalam masyarakat Barat, kaum intelektual tidak membentuk kelas sosial
tersendiri. Mereka hidup sebagai pelengkap kelas-kelas lainnya dan ditentukan
dari segi wawasan, gaya hidup, dan persepsi diri, bukan dari segi posisi
ekonomi atau kedudukan sosial atau kepentingan-kepentingan bersama. Sebaliknya,
di dalam masyarakat yang sedang berkembang kaum intelektual memperoleh
kedudukan dan pengaruh semata-mata karena mereka adalah intelektual.
Anggota-anggotanya membentuk sebuah kelas tersendiri dan karenanya kaum
intelegensia di sana memegang kekuasaan politik. Selain itu, menjadi intelektual
berarti melakukan suatu pekerjaan, memenuhi panggilan hidup dengan nilai dan
aturan, disiplin serta kode etiknya sendiri.
Mengingat latar
belakang dan pendidikannya, serta dorongan wawasan-wawasannya, kaum
intelegensia dalam masyarakat tradisional merupakan kelompok yang khusus
berkaitan dengan apa yang dapa disebut sebagai tantangan kultur Barat, dan para
anggotanya berusaha keras untuk menguasai wawasan-wawasannya. Proses itu
diserap oleh tradisi intelektual modern di mana sebagian kaum intelegensia baru
itu berada di dalam masyarakatnya sendiri. Itulah sebabnya mereka sering
dituduh tidak mempunyai akar. Bahkan oleh anggota pergerakan kebangsaan lainnya
dinilai seperti itu.
Sebagian besar
intelegensia baru itu pada mulanya berasal dari keluarga-keluarga priyayi
tingkat atas, tetapi dengan meningkatnya kebutuhan akan tenaga terdidik untuk
mengisi birokrasi pemerintah dan perusahaan swasta yang sedang mengalami
ekspansi, maka banyak pula orang dari kalangan rakyat bisa maupun aristokrasi
rendahan dapat memperoleh pendidikan Belanda yang pada beberapa tahun
sebelumnya masih tertutup bagi mereka dan perkembangan-perkembangan ini mulai
mengaburkan secara berangsur-angsur perbedaan-perbedaan status berdasarkan kelahiran
sehingga menjelang dasawarsa 1920, orang sudah dapat bebicara tentang keberdaan
intelegensia sebagai kelas tersendiri.
Salah satu dari
kalangan intelektual yang muncul kemudian adalah Sjahrir yang lahir di Padang
panjang, Minangkabu pada tahun 1909, sebagai anak seorang ahli hukum yang
bekerja pada pemerintah sebagai jaksa dan kemudian, pada 1913 sebagai kepala
jaksa di Medan. Dengan demikian, sejak semula Sjahrir mendapatkan dirinya
berada dalam lingkungan di mana pendidikan profesional Barat dihargai dan
ketika masih kecil ia juga mengalami bentuk-bentuk pengaruh intelektual
lainnya. Sjahrir sendiri menempuh salah satu jalan yang lazim terbuka bagi
anak-anak cerdas dari keluarga yang berkedudukan baik. Di Medan ia masuk ELS
dan setelah itu MULO. Dari sana tahun 1926 ia pergi belajar di AMS Bandung. Ia
bergabung dengan studie club “Patriae
Scientiaeque” dan kemudian dengan Pemuda Indonesia sebagai ketua cabang
Bandung.
Setelah tiga
tahun tinggal di Bandung, Sjahrir termasuk dalam sebuah kelompok mahasiswa
Indonesia pilihan yang dapat melanjutkan studi pada tingkat universitas di
Belanda. Mula-mula ia belajar di Universitas Amsterdam, kemudian belajar hukum
di Leiden. Seperti orang-orang lain yang segenerasi dengannya, ia merasa
tergairahkan dan bahkan terserap sepenuhnya oleh lingkungan unversitas di Belanda.
Dengan bersemangat ia memasuki kehidupan mahasiswa antara lain ke dalam
kegiatan politik mahasiswa. Ia bergabung dengan Perhimpunan Mahasiswa
Sosial-Demokrat Amsterdam yang walaupun merupakan sebuah organisasi mahasiswa
independen, mempunyai hubungan dengan Partai Buruh Sosial-Demokrat (SCAP).
Dengan demikian, ia memiliki pengalaman berpartisipasi langsung dalam kehidupan
politik Belanda.
Minat Sjahrir
terhadap politik berjalan seiring dengan kehidupan sosial seorang mahasiswa
yang aktif. Dalam situasi itu, Sjahrir berkenalan dengan aliran-aliran
pemikiran yang sama seperti yang dialami Hatta, tetapi Sjahrir terbawa arus itu
ke arah yang agak berbeda. Ia menyerap gagasan-gagasan dalam bentuk yang lebih
lengkap dan lebih sekuler, bereaksi terhadapnya dengan cara yang tidak sekhidmat
reaksi Hatta tetapi yang pasti tidak kalah bergairahnya. Sebagai mahasiswa dan
sesudahnya ia sepenuhnya terlibat dalam suatu perjuangan intelektual untuk
mencapai suatu sintesis yang total. Daya tarik teori marxis merupakan sebagian
dai masalah-masalah teoritis yang lebih luas yang diminati Sjahrir. Sjahrir
bukanlah seorang inovator intelektual, namun dalam pendekatannya terhadap
wawasan orang lain, ia memusatkan
perhatiannya pada konsep, analisis, dan koherensi. Kegiatan politik, menurut pendapatnya, harus
mempunyai landasan teori yang kuat. Sekembalinya ke Indonesia, dalam tulisannya
untuk surat kabar PNI Baru, Daulat Ra’jat,
ia menyerukan kecermatan dan ketepatan dalam menyusun suatu teori. Sjahrir
memperlihatkan jalan pikirannya dengan cara yang paling jelas, bukan di dalam
tulisan-tulisan politiknya yang spesifik melainkan dalam renungan-trenungannya
yang terkandung dalam surat-surat yang ditulisnya. Dalam komentarnya mengenai
pengetahuan Barat di dalam surat-suratnya itu ia selalu menekankan wawasan
tentang rasionalitas dan vitalitas.
BAB
III
TERBENTUKNYA
KELOMPOK SJAHRIR PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG DI JAKARTA
Sebagian
diantara para pemuda yang tertarik ke dalam orbait Sjahrir dalam tahun
1943-1944 telah mengadakan kontak dengan Sjahrir hampir secara kebetulan
melalui kawan-kawan yang sudah lebih dahulu menjadi kawan Sjahrir. Perkenalan
semacam itu berlangsung dengan latar belakang kegiatan dan politisasi pemuda
yang lebih luas yang merupakan akibat wajar dari kekacauan di semua lapisan
masyarakat Indonesia yang ditimbulakn oleh pendudukan Jepang dan sebagian lagi,
merupakan akibat dari kebijakan mobilisasi yang secara sengaja ditempuh oleh orang-orang
Jepang sendiri dalam uapaya mereka megontrol dan mendapatkan dukungan dari
penduduk Indonesia yang sudah ditaklukannya. Berbagai macam organisasi pemuda
dibentuk guna melayani berabagai sektor masyarakat, sebagai contoh Seinendan yang khusus dimaksudkan untuk
para pemuda di desa-desa dan kota-kota kecil. Angkatan Muda, yang bermarkas di
Bandung dan menghimpun anatara lain pelajar-pelajar sekolah menengah atas.
Angkatan Baru, sebuah organisasi yang lebih terbatas untuk pemimpin-pemimpin
pemuda ayng berpusat di Jakarta. Di samping itu, terdapat organisasi massa
nasional yakni Putera dan penerusnya, Djawa
Hokokai, dan organisasi-organisasi militer atau semi-militer yang dibentuk
untuk memberikan latihan dasar militer kepada penduduk setempat, yaitu Peta
(Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan
bantuan Indonesia dalam Angkatan Darat Jepang), dan barisan Pelopor yang
dibentuk di bawah pengawasan Djawa Hokokai. Organisasi-organisasi ini
beroperasi dalam suasana meningkatnya harapan dan ancaman malapetaka yang
manandai bulan-bulan terakhir kekuasaan Jepang.
Tetntu saja,
kegiatan kaum nasionalis di masa pendudukan Jepang dan tidak lama sesudahnya
bukan merupakan gerakan yang homogen. Ada garis pemisah di dalam masyarakat
Indonesia yang sebgaian terbuka dan sebagain terselubung tapi akan menjadi
penting di kemudian hari. Ada perbedaan generasi diantara para pemimpin
kebangsaan yang lebih tua dengan mereka yang memulai pengalaman politik mereka
di masa pendudukan Jepang. Tapi ada unsur-unsur perbedaan ideologis yang
mendasar. Sjahrir, dalam oposisinya terhadap Jepang tidak semata-mata atau
barangkali bahkan digerakan oleh pertimbangan nasionalis, tapi juga oleh
pertimbangan-pertimbangan doktrin politik. Ia memandang Jepang sebagai kaum
fasis yang mempunyai ikatan integral dengan fasisme Eropa.
Keanekaragaman
kasus tersebut tidak mengaburkan koherensi dan sifat jalin-menjalin kelompok
asal mereka. Dalam kelompok Sjahrir sendiri, eksistensi kelompok tersebut
ditentukan oleh kepribadian Sjahrir sendiri. Pandangan-pandangan ideologis para
anggotanya sangat tidak koheren dan karenanya doktrin atau ideologi tidak
mungkin mendefinisikan ara anggotanya dan mempersatukan mereka sebagai
kelompok. Sebagai gantinya, yang tampak adalah serangkaian hubungan pribadi
demngan satu tokoh sentral yang menarik orang-orang kepada dirinya karena
sikapnya yang hangat, ninatnya terhadap ide-ide, dan kesediaannya untuk
mendiskusikan ide-ide itu dengan orang-orang yang berkumpul di rumahnya.
Tidak semua
orang yang memasuki lingkungan pengaruh Sjahrir di masa pendudukan Jepang dan
segera sesudahnya merupakan pengikut yang berkeyakinan kuat. Ada juga yang
skeptis. Rosihan Anwar, sabagai pemuda, menganggap Sjahrir agak arogan. Hazil Tanzil,
berpendapat Sjahrir kadang-kadang dapat bersikap kejam dan ia mencatat adanya
kecenderungan pada diri Sjahrir untuk bersikap hormat terhadap lawan tetapi
sengit terhadap kawan-kawan yang sesekali berbeda pendapat.
Gambaran yang
muncul tentang para pemuda pengikut Sjahrir di masa pendudukan Jepang adalah
sebuah kelompok pertemanan yang mengambang bukan karena sel bawah tanah yang
terorganisasi dengan ketat. Di dalam kelompok itu ada pembicaraan mengenai
soal-soal politik khususnya, ada kesadaran tentang dunia luar yang diperoleh
dari mendengarkan siaran-siaran radio luar negeri secara sembunyi-sembunyi.
Pada umumnya, ada kesadaran sebagai anggota kelompok inti yang terdiri dari
orang sependirian dan bukan suatu organisasi yang terstruktur dan dikontrol.
Orang-orang di luar kelompok kadang-kadang dibuat merasa asing dengan kelompok
itu. Mereka sesekali merasakan bahwa percakapan secara bisik-bisik diantara
anggota-anggota kelompok itu tidab-tiba dihentikan atau beralih ke pokok
percakapan yang lain apabila ada orang luar bergabung dengan mereka.
Sjahrir
sekurang-kurangnya berusaha memelihara hubungan dengan kelompok-kelompok di
luar Jakarta dan memelihara jaringan kontak dan para mahasiswa yang menjadi
pengikutnya kadang-kadang mengambil bagian di dalam kegiatan-kegiatan itu
dengan sesekali mengantarkan pesan kepada kelompok-kelompok di berbagai daerah.
Di beberapa aerah di Pulau Jawa rekan-rekan Sjahrir yang lebih senior yang
semuanya merupakan mantan anggota Pendidikan nasional Indonesia terlibat dalam
kegiatan politik yang dilakukan secara tersembunyi. Sastra dan Rusni
menginformasikan Sjahrir tentang perkembangan terakhir di Priangan sedangkan
Wiyono serta Sugiono Yosodiningrat menginformasikan perkembangan terakhir di
Yogyakarta. Di Cirebon, Sudarsono, Soegra, dan Sukanda mengurus sebuah
organisasi kecil yang berkaitan dengan Sjahrir dan berpengaruh sampai
kekeresidenan Pekalongan yang berdekatan. Soegra pernah menjabat ketua
Pendidikan Nasional Indonesia cabang Cirebon pada masa sebelum perang dan ia
merupakan salah satu seorang pendiri sebuah sekoah di Waled yang letaknya
bedekatan dengan Cirebon dan salah seorang pendiri Koperasi Rakyat Indonesia
yang digunakan sebagai kedok untuk kegiatan politik. Di Tegal, Soebadio
Mangoenrahardjo ikut serta dalam pembentukan sebuah kelompok pemuda yang diberi
nama “Sembilan Bersaudara” yang terdiri dari putra para pejabat rendahan. Di Brebes,
Sunarto, seorang kawan kerja Soegra dan bersama-sama dia merupakan pendiri
Koperasi Rakyat Indonesia, mendirikan cabang-cabang koperasi itu yang menjadi
sebuah jaringan kelompok-kelompok informal yang mempersiapkan diri untuk
perjuangan di masa mendatang. Di Jawa Timur, Djohan Sjahroezah, keponakan
Sjahrir, melibatkan diri dalam kegiatan serikat Buruh di kalangan buruh minyak
di Wonokromo dan Cepu dan meletakan landasan bagi sebuah organisasi bawah tanah
yang lebih luas.
Daftar nama-nama
di atas sudah merupakan suatu bukti tentang daya tahan Pendidikan Nasional
Indonesia selama satu dasawarsa penindasan politik. Mereka yang luput dari
pembuangan saling memelihara kontak dan berhasil mempertahankan eksistensi
organisasi itu. Soebadio Mangoenrahardjo sesungguhnya merupakan ketua
Pendidikan Nasional Indonesia yang terakhir sebelum Invasi Jepang dan karirnya
mencerminkan karir banyak anggota partai itu.
Jadi, penilaian
mengenai sifat organisasi yang telah dibangun oleh Sjahrir di masa pendudukan
Jepang dan tidak lama sesudahnya ini, agaknya harus berada di antara kedua
ujung yang ekstrem. Sejauh menyangkut anggota-anggota kelompok Sjahrir yang
berusia lebih muda, ikatan-ikatan yang mempersatukan para anggotanya pada
mulanya lebih bersifat pribadi ketimbang ideologis atau keorganisasian. Mereka
merupakan kelompok perlawanan yang banyak diantaranya adalah sudah saling
mengenal dengan akrab dalam berbagai hubungan yang berbeda-beda, dan mereka merasa
mempunyai hubungan yang akrab dengan Sjahrir. Kelompok perkawanan ini tidak
dapat dikatakan sebagai suatu organisasi. Tetapi mereka menyadari bahwa
kontak-kontak Sjahrir adalah lebih luas, mencakup mereka hingga
kegiatan-kegiatan terorganisasi seperti yang dilakukan oleh Djohan Sjahroezah,
dan mereka merasa telah berpartisipasi dalam kegiatan yang lebih luas itu. Tentu
saja keseluruhan operasi kelompok ini masih sangat sederhana, belum menjadi
gerakan perlawanan yang efektif dengan basis yang luas dan pimpinan yang
terpusat terhadap kekuasaan Jepang. Tidak ada tindak kekerasan yang
terorganisasi, tidak ada kegiatan gerilya, dan bahkan tidak ada gerakan bekerja
lambat yang berarti di sekitar industri. Tetapi tidak adil kiranya untuk
memungkiri arti penting persiapan-persiapan yang ketika itu dilakukan oleh
Sjahrir dan rekan-rekannya bagi perjuangan yang akan datang.
Persiapan-persiapan itu mencakup upaya perekrutan anggota-anggota berusia muda
dan perumusan suatu strategi jangka panjang, yang dibentuk dengan asas-asas
Pendidikan Nasional Indonesia yang lama, tetapi disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan situasi yang akan muncul dengan kekalahn Jepang yang tak
terelakkan lagi.
BAB
IV
PROFIL
PARA PENGIKUT BARU
Orang-orang yang
direkrut Sjahrir di masa pendudukan Jepang dan masa berikutnya merupakan
anggota suatu elite intelektual dalam artian bahwa mereka telah memperoleh
pendidikan dasar dan menengah Belanda dan melanjutkan studi mereka ke perguruan
tinggi di Indonesia. Ada orang-orang yang mempunyai pengalaman pendidikan
serupa tetapi tidak terpilih untuk menjadi anggota kelompok itu, atau tidak
tertarik ke kelompok itu melalui kawan-kawan mereka atau melalui kegiatan
politik mereka sendiri.
Sebagian
mahasiswa pengikut Sjahrir lahir antara tahun 1918 dan 1922. Menjelang usia dua
puluh atau awal dua puluhan mereka sudah menjadi anggota suatu elite
intelektual. Oleh karena mereka berasal dari kalangan mahasiswa atau
eks-mahasiswa, dan karena pendidikan tinggi tertutup bagi semua kecuali
minoritas rakyat yang sangat kecil jumlahnya, maka orang tua mereka mestinya,
paling tidak, cukup kaya untuk membiayai pendidikan seperti itu dan mempunyai
kedudukan serta pengaruh yang cukup besar untuk memasukkan anak-anak mereka
sejak awal ke sekolah-sekolah yang sesuai. Akan tetapi dalam beberapa kasus,
orang tua mereka memerlukan tekad yang cukup besar untuk melakukan hal itu.
Maka, dari latar
belakang pendidikan mereka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anggota
kelompok itu berasal dari kalangan yang relatif berpengaruh dan kaya. Sebagian
diantara mereka berdarah ningrat, anak-anak keluarga priyayi di Jawa atau
anak-anak keluarga bangsawan dari daerah-daerah lain. Yang lain-lainnya bukan
merupakan bukan merupakan anak bangsawan.
Pengikut-pengikut
Sjahrir yang lebih muda terdiri dari orang-orang yang telah menikmati literatur
dan musik Eropa, dan menganggap pemikiran politik Eropa sebagai relevan. Di
antara mereka ada yang menemukan suatu analisis mengenai nasib buruk mereka di
dalam teori marxis, yang nampaknya dapat menjelaskan segala jenis fenomena
sosial.
Di kalangan
anggota-anggota kelompok Sjahrir jelas ada sikap mendua mengenai relevansi dan
masa depan masyarakat tradisional. Mereka menganggap diri mereka modern dan
partisipan terutama dalam kebudayaan intelektual modern. Dan mereka percaya
bahwa modernisasi merupakan tujuan yang harus dicapai oleh Indonesia. Kita juga
telah mencatat sikap mereka yang relatif tak peduli dengan asal-usul etnis. Dan
jikla kepedulian semacam itu memang ada, hal itu harus dianggap sebagai suatu
sikap yang dibuat-buat dan artifisial.
Sampai sejauh
itu dan dengan segala perbedaan-perbedaan individual, pengikut-pengikut Sjahrir
dapat mendekati metodenya dalam memecahkan dilema kepribadian yang terbelah
dalam suatu masyarakat yang sedang dalam peralihan, tetapi bagi mereka dilema
itu nampaknya tidak sebasar seperti bagi Sjahrir. Atau lebih tepat, apa yang
nampak sebagai masalah bagi Sjahrir, setelah ia larut sepenuhnya dalam
masyarakat di Belanda, agaknya tidak menimbulkan suatu masalah identitas bagi
pengikut-pengkiutnya. Mereka menempatkan diri – dengan tingkat kesulitan yang
berbeda-beda tetapi pada akhirnya dengan keyakinan – di pihak perubahan dan
modernisasi, dan tidak memandang hal ini dari segi ketidaksesuaian antara
kebudayaan Barat dan kebudayaan pribumi. Hanya beberapa orang saja meraksan
jenis beban dan ketegangan seperti yang tercermin dalam tulisan-tulisan
Sjahrir.
Ada beberapa
ciri intelektual yang penting yang nampaknya umum di kalangan mereka. Penerapan
cara pendekatan umum Sjahrir terhadap soal-soal sejarah, politik, dan tatanan
sosial serta perumusan strategi untuk menghadapi situasi di Indonesia sesudah
Jepang menyerah. Untuk sementara waktu, yang penting adalah kecenderungan umum
kelompok ini. Dapat diasumsikan bahwa perkembangan intelektual di kemudian hari
telah mempengaruhi kenangan-kenangan tetnag bagaimana wawasan-wawasan
berkembang pada mulanya.
Stereotip
pengikut Sjahrir adalah individu yang sangat intelektual, secara sadar
pendangan modern, memiliki pemahaman yang canggih mengenai dunia dan segala
seluk-beluknya, juga mempunyai kebanggaan terhadap kompetensi teknis, percaya
diri, dan arogan terhadap orang-orang yang tidak terima masuk dalam kelompok
mereka. Realitasnya lebih kompleks.
Namun, dengan
segala keanekaragaman ini, beberapa ciri umum nampaknya ada pada mereka. Mereka
mungkin tidak menganut doktrin yang sama, tetapi mereka sangat mengutamakan
rasio dan bangga dengan kerasionalan pendekatan mereka teradap masalah-masalah
di masa itu. Rasionalitas mereka berkaitan dengan persepsi diri mereka sebagai
modernisator. Mereka suka berpikir, berargumentasi, dan meyakini arti penting
dari jenis wawasan-wawasan yang telah mereka serap. Dan nasionalisme mereka
disesuaikan dengan nilai-nilai yang lain. Mereka bersikap demokratis dalam
artian antiotoriterisme, dan mereka semua mempunyai suatu komitmen yang umum
terhadap individualisme walaupun dengan pengertian yang kabur, setidak-tidaknya
terhadap pentingnya hak-hak manusia dan humanisme yang luas.
Hal-hal terakhir
itu perlu mendapat penekanan karena mencerminkan suatu warna yang penting dalam
cara berpikir kelompok itu. Ada kesadaran umum bahwa nasionalisme, dengan
segala keutamaannya mempunyai bahayanya, dan ada keyakinan bahwa nilai-nilai
perikemanusiaan dan asas-asas demokrasi sama pentingnya dengan tujuan
kemerdekaan bagi Indonesia. Terlalu mudah bagi ideologi nasionalis untuk
mengenakan sejumlah kedok otoriterisme. Ideologi nasionalis, umpamanya, dapat
mengangkat bangsa dengan mengorbankan individu. Idelogi itu dapat begandengan
dengan pandangan bahwa individu hanya dapat mewujudkan dirinya secara penuh di
dalam bangsa atau negara.
Di samping pandangan-pandangan
ekstrem itu, ada implikasi-implikasi negarais (statist) yang melekat pada
sebagian besar pemikiran nasionalis. Di dalam pemikiran nasionalis sejumlah
besar partai sebelum perang, ada unsur kepercayaan yang kuat terhadap kekuasaan
negara untuk mencapai tujuannya atas nama rakyat. Kepercayaan seperti itulah
jelas memperlihatkan warna-warna otoriter.
Para pemuda
pengikut Sjahrir menyadari benar bahaya-bahaya seperti itu dan mereka tidak
hanya peduli demngan perjuangan kemerdekaan saja, tetapi juga dengan tujuan
kemerdekaan yang demokratis. Sebelum pendudukan Jepang, hal itu lebih merupakan
kecenderungan ideologis daripada program yang sebagian mereka peroleh dari
bacaan, sebagian dari diskusi di antara sesama mereka.
Nilai-nilai dan
kecenderungan itu bermuara menjadi suatu pandangan yang cocok sekali dengan
cita-cita sosial-demokratis Pendidikan Nasional Indonesia dan dengan pandangan
yang masih ingin disebarluaskan oleh Sjahrir. Orang-orang muda yang telah
dihimpun olehnya pada masa sebelum Agustus 1945 dan segera sesudahnya sudah
siap untuk menjadi kaum sosial demokrat menurut polanya. Mereka percaya bahwa
sosialisme dan demokrasi kedua-duanya dapat dicapai. Dan juga bahwa sosialisme
tidak akan merupakan sosialisme sejati bila tidak ada penghormatan terhadap
individu dan dengan demikian, tidak ada lembaga-lembaga demokratis. Sebagaimana
mereka mencurigai otoriterisme yang mungkin terkandung dalam ideologi
nasionalis, demikian pula, mereka menolak pandangan bahwa untuk mencapai
sosialisme orang harus tunduk sepenuhnya kepada disiplin dari suatu partai
pelopor. Sentralisme demokrasi merupakan suatu istilah yang mengandung
kontradiksi di dalam dirinya sendiri.
Tentu saja
sejauh ciri-ciri kelompok itu baru dilukiskan dengan cara yang sangat umum
karena hanya itulah yang dapat dikatakan tentang mereka semasa kelompok itu
masih dalam proses mendefinisikan dirinya. Lingkungan politik dimana anggota
barunya, bersama-sama dengan para pengikut Sjahrir yang lebih tua, pada
akhirnya membentuk suatu partai tersendiri. Pada 1945 mereka hanya merupakan
sebuah kelompok informal di samping kelompok-kelompok lain yang mempunyai
pandangan-pandangan yang bersaingan dan kadang-kadang saling bertentangan dan
memiliki kesetiaan kepada pemimpin-pemimpin yang lain, dalam situasi umum yang
ditandai oleh suatu gambaran ideologis yang sangat kompleks dan terus-menerus
berubah. Dalam tahun-tahun berikutnya, garis-garis ideologis dan organisasi
akan banyak dilintasi dan dilintasi kembali. Bagaimanapun, garis yang telah
memisahkan Pendidikan Nasional Indonesia dan Partindo di masa lampau, dan yang
di kemudian hari akan memisahkan PNI, PKI, Murba dan PSI sati sama lain, tak
pernah tetap dan tidak berubah.
BAB
V
ASAS
DAN KEMUNGKINAN: PRAKTIK KEBIJAKAN SJAHRIR
Tema-tema
sentral yang membentuk pandangan Sjahrir dan rekan-rekannya mengenai dunia di
sekitar mereka, mengenai masalah-maslah sosial dan ekonomi di dalam dan di luar
negeri, dan mengenai tujuan-tujuan perjuangan politik yang sesungguhnya, telah
didefinisikan di awal dasawarsa 1930 semasa giat-giatnya Pendidikan Nasional
Indonesia, dan sejak itu tema-tema ini merupakan unsur-unsur yang selalu hadir
yang akan diterapkan dengan cara keadaan yang tepat pada keadaan yang
berubah-ubah, untuk dimodifikasikan samapi tingkat tertentu tanpa perubahan
yang mendasar. Yang esensial tentang perjalanan sejarah dunia yang mencakup
evolusi kepitalisme dan imperialisme, pasang-surutnya perkembangan
peristiwa-peristiwa internasional, dan masalah tatanan ekonomi dalam negeri.
Hal ini merupakan sauatu perspektif yang Eropasentris yang melihat
perkembanghan di Indonesia sebagai bagian perkembamngan sejarah Barat pada
umumnya. Tetapi, bagi Sjahrir dan kawan-kawannya, semua ini adalah satu.
Penjajahan terhadap Indonesia dilihat sbagai produk krisis kapitalisme Eropa.
Begitu pula dengan fasisme.
Implikasi
proposisi-proposisi yang sangat umum ini bagi Indonesia tidak diuraikan dengan
sangat rinci oleh Sjahrir. Kemerdekaan sudah tentu merupakan tujuan yang harus
diperjuangkan setelah kalahnya negara-negara poros, dan keadilan sosial,
demokrasi politik, serta penghormatan hak-hak manusia merupakan tujuan-tujuan
domestik yang tidak dipermasalahkan lagi dalam Indonesia yang sudah merdeka.
Tetapi, agaknya masih ada beberapa persoalan mengenai apakah pemecahan yang
sosial demokratis membutuhkan revolusi industri. Atau apakah Indonesia sudah
ada landasan sosial untuk mendukung demokrasi politik. Orang mungkin dapat
mengemukakan pertimbangan bahwa demokrasi sosial bertujuan untuk mengkoreksi
cacat-cacat demokrasi kapitalis di dalam masyarakat-masyarakat industri, dan
mungkin tidak menawarkan pedoman yang jelas bagi masyarakat jajahan yang baru
dibebaskan. Tetapi, bagaimanapun juga itulah kerang konseptual umum yang di
dalamnya strategi-strategi politik jangka pendek dan jangka panjang Sjahrir
akan dirumuskan.
Selama tiga
tahun pertama revolusi, Sjarhir harus menanggapi tekanan kondisi-kondisi
keadaan yang sedang dihadapi. Ini tidak berarti bahwa tindakan-tindakannya
sudah ditentukan sebelumnya, atau bahwa ia tidak mempunyai ruang gerak untuk
melakukan pilihan dan menempuh kebijakan-kebijakan alternatif.
Sifat strategi
Sjahrir terungkap dalam responnya terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di
bulan Agustus 1945, dan sebagian dalam manuver-manuver politik berikutnya yang
menempatkan dirinya pada kedudukan perdana menteri, dan juga dalam cara ketiga
pemerintahannya menangani tekanan-tekanan dari dalam dan luar negeri pada waktu
itu. Singkatnya, sejumlah asas pedoman dapat kita lihat dalam tindakan-tindakan
dan kata-katanya sema periode itu, diantaranya ada yang hanya merupakan
penerapan wawasan-wawasan politiknya yang sudah ada pada kenyataan yang
dihadapinya, dan ada yang merupakan perpanjangan atau revolusi pandangan itu
dalam rangka situasi yang berkembang. Pertama,
yang penting baginya adalah bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus
bernada istilah anti fasis. Itu merupakan konsekuensi perspektif yang sudah ia
kembangkan mengenai arah perkembangan
peristiwa-peristiwa di dunia pada dasawarsa 1930. Pembebasan Indonesia
dan perkembangannya sebagai sebuah Republik yang demokratis dan sosialis
mempunyai tempatnya dalam perspeftif itu. Kedua,
kesadarannya akan potensi otoriter yang terkandung dalam proses revolusi.
Sikapnya itu termanifestasi dalam beberapa cara. Dengan memperhitungkan
ketidakmenentuan situasi dan kemungkinan terjadinya kekacauan setelah kekalahan
Jepang, Sjahrir menginginkan agar kemerdekaan diproklamasikan dengan cara yang
setertib mungkin dan melalui apa yang dapat dianggap sebagai suatu otoritas Indonesia
yang terbentuk sebagaimana mestinya. Ia khawatir akan timbulnya kemungkinan
terjadinya aksi yang tidak terkendalikan dan tidak berdasar informasi yang
cukup oleh kelompok-kelompok pemuda di ibukota. Sikap yang sama mendasari
harapannya selama delapan belas bulan berikutnya, bahwa kemerdekaan akan dapat
dirundingkan dan suatu perjuangan yang berlarut-larut, menggunakan kekerasan
dan diliputi kekacauan, akan dapat dihindari.
Dari segi
praktis, ia tidak melihat pilihan lain kecuali berusaha mencapai penyelesaian
melalui perundingan, tetapi komitmennya untuk diplomasi dan bukan oposisi tanpa
kompromi terhadap belanda, apad prinsipnya bersumber pada keyakinannya bahwa
perjuangan yang sama sekali bukan merupakan proses pemersatuan, akan
membahayakan prospek penyelesaian yang demokratis. Begitu pula kecurigaannya.
Terhadap pengaturan-pengaturan
pemerintahan yang menempatkan kekuasaan formal yang terlalu bear di tangan
seorang kepala pemerintahan, merupakan bagian dari kompleks pandangan-pandangan
yang sama. Alternatif sistem parlementer yang diusulkannya, dengan sendirinya
sejalan dengan kepentingan politiknya yang langsung. Sistem ini cocok dengan
keterampilan politiknya dan memungkinkannya memainkan suatu peranan yang dalam
keadaan yang lain akan tertutup baginya, tetapi masih banyak lagi alasan yang
lain. Ketiga, kita dapat menyebutkan
penilaiannya mengenai terbatasnya kemungkinan-kemungkinan perubahan ekonomi dan
sosial pada tahun-tahun pertama kemerdekaan.
Definisi
mengenai sikap-sikap ini dapat ditelaah dengan baik dalam respon Sjahrir sendri
atas peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi tahun 1945 dan seusdahnya.
Dalam monografi ini tidak dikandung maksud untuk melukiskan dengan rinci
peristiwa-peristiwa dalam revolusi, ataupun menyajikan suatu laporan lengkap
mengenai langkah-langkah yang mengarah pada pemisahan diri para pengikut
Sjahrir dari partai sosialis dan pembentukan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Kekhawatiran-kekhawatian
seperti yang dipaparkan di atas menyebabkan Sjahrir tidak dapat mengambil
bagian dalam upaya-upaya untuk memaksa Sukarno dan Hatta dan pada dasarnya ia
tidak bersimpati dengan tindakan penculikan terhdapa kedua pemimpin itu.
Sebagai akibatnya, sebagian pemuda Jakarta memperoleh kesan bahwa ia telah
gagal untuk memberi pimpinan pada saat yang kritis. Padahal, penolakannya itu
bersumber langsung dari prinsip poitiknya.
Namun,
pengunduran dirinya hanyalah untuk sementara. Walaupun dengan cara itu ia tidak
melibatkan diri dalam peristiwa-peristiwa pada tanggal 16-17 Agustus, ia tidak
lama kemudian kembali berada di pusat kegiatan dan memperlihatkan keterampilan
politik yang luat biasa dalam menempuh kebijakan yang matang. Inisiatif
politiknya berhasil mengubah konvensi-konvensi konstitusional yang mendasari
pementukan pemerintah Republik yang pertama.
Selanjutnya,
untuk menciptakan ketertiban dalam pergoalakan di masa pascaproklamasi dan
meratakan jalan bagi perundingan dengan Belanda merupakan tugas-tugas yang
cukup penting bagi pemerintah Sjahrir, tetapi tugas-tugas ini diperumit oleh
kenyataan bahwa hal-hal itu harus ditanggulangi dalam situasi persaingan politik
yang akut dalam negeri. Mungkin ada harapan bahwa perjuangan untuk
mempertahankan kelangsungan eksistensi nasional akan menjamin persatuan bangsa.
Tetapi, ternyata ada perbedaan-perbedaan penting diantara unsur-unsur yang
bersaingan yang sebagian besar bersifat ideologis atau keagamaan, sebagian
timbul akibat perbedaan antargenerasi, sebagian mencerminkan perselisihan paham
tentang kebijakan yang harus ditempuh pada waktu itu dan sebagin lagi hanyalah
karena persaingan pribadi.
Pandangan
mengenai konteks internasional yang menentukan perjuangan Indonesia merupakan
perkembangan kemurnian prinsip-prinsip sosial demokratis Sjahrir di awal
dasawarsa 1930, dan meurpakan unsur yang tampak jelas pada kesadarannya
mengenai perlunya Republik menmpilkan kesan tertib dan bertanggung jawab tahun
1945 dan 1946, pada cara ia mengadakan perundingan di tahap awal, pada sikapnya
yang menantang penyitaan harta milik Belanda, pada responnya yang konservatif
terhadap gerakan-gerakan revolusi sosial di dalam Perstiwa Tiga Daerah dan
revolusi sosial di Sumatera Timur yang lebih meluas dan lebih mendasar.
Pandangannya diterima tanpa banyak keragu-raguan oleh para pengikutnya.
Doktrin-doktrin sosial dan ekonomi Sjahrir pada masa revolusi dianggap sebagai
hal wajar dalam situasi Indonesia ketika itu.
BAB
VI
KESIMPULAN
Sudah
dikemukakan di atas bahwa keanggotaan PSI pada saat pembentukkannya mencakup
dua genarasi yang sangat berbeda satu sama lain. Di satu pihak ada rekan-rekan
Sjahrir semasa awal dasawarsa 1930, dan di pihak lain, terdapat anggota-anggota
baru, yang sebagian besar adalah pemuda yang direkrut pada masa pendudukan
Jepang dan bulan-bulan pertama setelah Jepang menyerah. Tetapi, kedua kelompok
ini sudah terikat dengan kuat pada tradisi yang sama. Setidak-tidaknya
demikianlah pandangan Sjahrir dan hal ini merupakan suatu yang wajar saja.
Kelompok-kelompok
elite yang lain yang terlihat dalam spektrum tidak lama sesudah masa pendudukan
Jepang, kurang jelas batas-batasnya. Sebagai seorang pemimpin, Amir
Sjarifuddin, merupakan tokoh yang sepadan dan memiliki daya tarik bagi kelompok
usai yangsama dengan kelompok yang direkrut oleh Sjahrir. Tetapi, daya tariknya
yang luas, seperti halnya perubahan-perubahan radikal yang terjadi pada
pemikiran politiknya, mau tidak mau menyebabkan kelompok pengikutnya menjadi
kurang koheren.
Dengan demikian,
ada alasan kuat untuk memandang pengikut-pengikut Sjahrir sebagai tergolong
dalam suatu tradisi intlektual yang lebih jelas batasannya dibandingkan
pesaing-pesaing utamanya setelah tahun 1945. Namun boleh jadi masih menjadi tanda
tanya apakah memang ideologi dan program yang mempersatukan mereka dan
memberikan kepada mereka kekhasan itu. Atau barang kali adalah tabiat politik
dan bukan gagasan atau tujuan yang membedakan mereka dari yang lain.
Kuatnya
kesadaran mengenai soal-soal seperti itu terlihat selama proses pemantapan
organisasi PSI dan pemantapan tujuan-tujuannya. Sejak semula dan bahkan ketika
memandang partai ini sebagai berasal dari Pendidikan Nasional Indonesia,
Sjahrir menyadari bahwa persoalannya bukalah sekedar menghidupkan kembali
partai tersebut. Ia menghendaki agar partai baru ini merupakan partai yang
bebas dari beban masa lampau. Hal ini sebagian mengacu kepada watak asli Pendidikan
nasional Indonesia sebagai partai perlawanan yang hidup di dalam situasi
kolonial. Menurut pandangan Sjahrir, unsur-unsur antikolonial dan unsur-unsur
nasionalis yang sempit dalam pemikiran partia ini tidak lagi relevan bagi
situasi dunia sesudah perang dan harus menyesuaikan pendekatannya dengan
situasi saat itu.
Akhirnya,
setelah dipaparkan dalam pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik
bahwa kencenderungan yang dimulai sejak pertengahan dasawarsa 1960 untuk
mengecilkan peran penting Sjahrir dan para pengikutnya selama dasawarsa 1930,
1940, dan 1950 disebabkan oleh sejumlah faktor. Retrospeksi jelas merupakan
sebagian darinya. Penilaian peran ini oleh para peneliti mengenai revolusi dan
awal sejarah politik Republik yang muncul kemudian, tidak bisa tidak akan
dipengaruhi oleh kegagalan politik PSI sebagai partai dan runtuhnya eksperimen
sistem parlementer. Penekanan terhadap faktor-faktor budaya di dalam
menjelaskan karakteristik perilaku politik Indonesia yang lebih dalam juga ikut
berperan. Peneklanan ini ikut memperkuat perspektif yang menampilkan
intelegensia modern sebagai kaum intelektual yang teraliansi. Pergeseran penilaian
ini boleh jadi sebagian merupakan respon wajar terhadap perhatian besar yang
dicurahkan kepada kelompok Sjahrir oleh para peneliti mengenai revolusi dan
republik yang muncul lebih awal. Pergeseran ini mungkin pula disebabkan oleh
nilai-nilai yang lebih radikal yang dianut oleh para peneliti yang muncul lebih
kemudian yang dalam telaah mereka terhadap revolusi dan sesudahnya, mencoba
mencari pahlawan dan solusi-solusi yang lain. Apa pun penyebabnya, barangkali
sudah waktunya sekarang bila PSI memperoleh kembali tempatnya yang wajar
sebagai pusat perhatian umum.
Tidak ada komentar untuk "Review Buku Karya J. D. Legge : "KAUM INTELEKTUAL DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN: PERANAN KELOMPOK SJAHRIR""
Posting Komentar